Rabu, 12 Desember 2012

RAGAM BAHASA DAN TINDAK TUTUR

BAB VIII
RAGAM BAHASA DAN TINDAK TUTUR


8.1 Tujuan
Setelah membaca bab ini diharapkan mahasiswa dapat:
1. menjelaskan ragam bahasa
2. menjelaskan berbagai tipe tindak tutur

8.2 Materi

A. Ragam Bahasa
Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dipakai dalam berbagai keperluan tentu tidak seragam, tetapi akan berbeda-beda disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Keanekaragaman bahasa  ini tentu tidak lepas dari masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa. Keragaman ini juga timbul karena kebutuhan pemakai bahasa yang ingin menyesuaikan bahasanya dengan situasi dan kondisi yang ditemuinya. Hal inilah yang disebut dengan ragam bahasa. Suwito (1984:148) menyatakan bahwa variasi (ragam) bahasa timbul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi yang sesuai dengan situasi dan konteks sosial. Konteks sosial yang dimaksud di sini adalah kapan komunikasi itu dipakai, di mana komunikasi terjadi, kepada siapa komunikasi itu disampaikan, masalah apa yang dibicarakan, dan dalam situasi seperti apa komunikasi terjadi.
Ragam bahasa semakin bertambah jika digunakan oleh penutur yang sangat banyak dan heterogen. Oleh karena itu, ragam bahasa perlu diklasifikasikan berdasarkan ciri khas pengguna bahasa di antaranya adalah:
1.      ragam bahasa berdasarkan waktu penggunaan,
2.      ragam bahasa berdasarkan media,
3.      ragam bahasa berdasarkan situasi,
4.      ragam bahasa berdasarkan bidang dan tema yang disampaikan,
5.      ragam bahasa Indonesia berdialek, dan
6.      ragam bahasa Indonesia yang baik dan benar (Kuntarto, 2007: 6-7)
Berbeda dengan pandangan di atas, Chaer dan Agustina (2004:65) membedakan ragam bahasa terdiri atas empat variasi sebagai berikut.
            1.   variasi dari segi penutur,
            2.   variasi dari segi pemakaian
            3.   variasi dari segi keformalan, dan
            4.   variasi dari segi sarana.
Dari kedua klasifikasi tersebut dapat disimpulkan bahwa ragam bahasa dapat diklasifikasikan atas:
1.      ragam bahasa berdasarkan waktu penggunaan,
2.      ragam bahasa berdasarkan sarana/media,
3.      ragam bahasa tingkat keformalan,
4.      ragam bahasa berdasarkan pemakaian,
5.      ragam bahasa berdasarkan penutur.

1. Ragam Bahasa Berdasarkan Waktu Penggunaan
Ragam bahasa ini terkait dengan zaman kapan dimulainya bahasa dipakai, ragam bahsa ini terdiri atas  ragam bahasa lama dan ragam bahasa baru. Ragam bahasa lama dipakai sejak kerajaan Sriwijaya sampai dicetuskannya Sumpah Pemuda. Ciri ragam bahasa lama ini masih dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Bahasa Melayu inilah yang akhirnya menjadi Bahasa Indonesia. Alasan bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia adalah,
  1. bahasa Melayu berfungsi sebagai lingua franca,
  2. bahasa Melayu sederhana, artinya tidak mengenal tingkatan,
  3.  keikhlasan suku daerah lain, dan
  4. bahasa Melayu berfingsi sebagai kebudayaan.
Ragam bahasa baru dimulai sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sampai dengan saat ini melalui pertumbuhan dan perkembangan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia.


2. Ragam Bahasa berdasarkan Sarana/Media
Ragam bahasa juga dapat dilihat dari sarana/media atau jalur yang digunakan. Misalnya, dalam bertelepon. Bertelepon ini sebenarnya adalah salah satu dari ragam bahasa lisan meskipun menggunakan sarana. Ragam bahasa lisan memiliki ciri-ciri sebagai berikut,
  1. memerlukan kehadiran orang lain,
  2. unsur gramatikal tidak dinyatakan dengan lengkap,
  3. terikat ruang dan waktu,
  4. dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suara.
Di samping ragam lisan, masih satu jenis ragam bahasa berdasarkan sarana, yaitu, ragam bahasa tulis, ragam bahasa yang menuntut kecermatan dalam penyampaiannya. Ragam bahasa ini lebih menaruh perhatian agar kalimat-kalimat yang dususun dapat dipahami pembaca dengan baik. Chaer dan Agustina (2004:73) menyatakan keslahan atau kesalahpengertaian dalam berbahasa lisan dapat segera diperbaiki atau diralat, tetapi dalam bahasa tulis kesalahan dan kesalahpengertian baru kemudian bisa diperbaiki. Ragam bahasa ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut,
  1. tidak membutuhkan kehadiran orang lain,
  2. unsur gramatikal dinyatakan dengan lengkap,
  3. tidak terikat ruang dan waktu,
  4. dipengaruhi oleh tanda baca atau ejaan.

3. Ragam Bahasa Berdasarkan Pemakaian
Berdasarkan pemakaiannya ragam bahasa ini berhubungan dengan bidang penggunaan, gaya, dan sarana penggunaan. Berdasarkan bidang penggunaan, ragam ini berkaitan dengan bahasa itu digunakan untuk keperluan apa. Misalnya, bidang pendidikan, budaya, politik, militer, dan sebagainya. Hal ini terkait dengan ciri dari kosakata yang dipakai bidang tertentu tersebut. Guru yang biasa mengajar dan selalu bertemu dengan sesama guru, kosakata yang dipakai adalah kosakata tentang pendidikan, anggota sebuah partai atau golongan tertentu akan berbahasa yang sama ketika berjumpa dengan sesamanya. Untuk lebih jelasnya dapat dicermati berbagai ragam bahasa berdasarkan pemakaiannya di bawah ini.
a. Ragam bahasa Ilmiah
Ragam bahasa ini memiliki ciri-ciri penggunaan kalimat-kalimat yang efektif, lugas, jelas, dan tidak bermakna ganda (ambigu). Bahasa ilmiah juga harus memberikan informasi keilmuan secara jelas, artinya informasi tersebut harus disertai dengan data-data akurat dari penelitian sebelumnya terkait dengan masalah yang dibicarakan. Oleh karena itu bahasa ilmiah tidak menggunakan segala macam bahasa metafora dan idiom (Chaer dan Agustina, 2004:69). Kuntarto (2007:6) juga menyatakan bahwa ragam bahasa ilmiah menghindari persona dengan tujuan menjaga obyektivitas isi tulisan dan adanya keselarasan antarproposisi dan antaralinea.

b. Ragam Bahasa Sastra
Berbeda dengan ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa sastra lebih mementingkan keindahan dan permainan kata. Ragam bahasa ini banyak menggunakan kalimat yang tidak efektif, penggambaran yang sejelas-jelasnya melalui rangkaian kata bermakna konotasi sering dipakai dalam ragam bahasa sastra. Hal ini dilakukan agar tercipta pencitraan di dalam imajinasi pembaca.  Coba baca puisi WS Rendra berikut.
IBUNDA
Engkau adalah bumi, Mama
Aku adalah angin yang kembara.
Engkau adalah kesuburan
Atau restu atau kerbau bantaian.

Kuciumi wajahmu wangi kopi
Dan juga kuinjaki sambil pergi
Kerna wajah bunda adalah bumi.
Cinta dan korban tak bisa dibagi.




c. Ragam bahasa Iklan
Bahasa iklan dapat dilihat di mana saja, di koran, majalah, radio, televisi, bahkan di setiap sudut-sudut jalan yang mudah di lihat. Bahasa iklan berkalimat menarik, persuasif, bernada sugestif, dan propagandis. Persuasif adalah bahasa iklan dapar mempengaruhi orang lain untuk membeli produk yang diiklankan, sugestif membuat orang selalu ingin mengkonsumsi produk tertentu tanpa memperhatikan produk lain yang mungkin lebih baik.

4. Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur
Ragam bahasa berdasarkan penutur biasa disebut dengan idiolek, yaitu ragam bahasa yang bersifat perorangan, atau bahasa yang khas dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang berasal dari Surabaya biasanya akan menggunakan panggilan ’rek’ pada lawan bicara, atau seseorang yang berasal dari bandung biasanya akan menyisipkan kata ’mah’, ’atuh’ di antara kalimat-kalimatnya, begitu juga seseorang yang berasal dari Batak akan menggunakan ’bah’ di antara kalimat-kalimatnya.

B. Tindak Tutur (Speech Act)
Yule (1997:97) mengatakan tindak tutur (speech act) adalah tindakan-tindakan yang diungkapkan melalui tuturan. Tindak tutur dapat berupa permintaan maaf, protes, undangan, janji, atau permintaan. Dalam tindak tutur biasanya terdapat peristiwa tutur. Yule menyatakan peristiwa tutur (speech event) adalah segala situasi yang mendukung penutur dan lawan tutur pada saat tindak tutur berlangsung. Segala situasi yang mendukung penutur dan lawan tutur tersebut adalah kepada siapa tuturan disampaikan, di mana tuturan terjadi, masalah apa, dan bagaimana tuturan tersebut dilakukan. Chaer dan Astina (2004:47) menyatakan bahwa peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Dengan demikian ketika interaksi berlangsung antara penjual dan pembeli di pasar, antara penarik becak dengan penumpangnya, antara kenek dan sopirnya, antara dokter dengan pasiennya, dan sebagainya pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya dapat disebut sebagai peristiwa tutur. Ketika komunikasi berlangsung, seorang penutur siapapun itu akan memilih tuturan manakah yang pantas disampaikan pada situasi tertentu. Hal ini bergantung kepada beberapa faktor tersebut di atas. Untuk lebih jelasnya dapat dicermati berbagai jenis tindak tutur di bawah ini.
 Searle dalam Wijana (1996:17) membagi tindak tutur menjadi tiga, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlukosi (perlocutionary act).

1. Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu atau biasa disebut sebagai the act of saying something. Berikut ini adalah contoh tindak lokusi :
(1)    Kucing adalah binatang menyusui
(2)    Manusia memiliki empat ruang jantung
Kalimat (1) dan (2) diungkapkan untuk menginformasikan sesuatu tanpa ada maksud tertentu seperti mempengaruhi lawan bicara. Intinya tidak lokusi ini tidak begitu penting peranannya untuk memahami tindak tutur.

2. Tindak Ilokusi
Tindak Ilokusi adalah tindak tutur untuk melakukan sesuatu atau biasa disebut sebagai the act of doing something. Contohnya dapat dilihat pada kalimat (c) dan (d).
(3)    Saya tidak bisa pulang
(4)    I’ve just cleaned the house
Kalimat (3) dan (4) diucapkan untuk melakukan sesuatu, bukan menyatakan sesuatu. Tindak ilokusi tidak mudah diindentifikasi karena kita harus mempertimbangkan siapa penutur. Lawan bicara, kapan dan dimana tindak tutur, dan sebagainya.

3. Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi adalah tindak tutur mempengaruhi lawan bicara atau biasa disebut sebagai the act of affecting someone. Tuturan yang diucapkan seseorang sering kali memiliki daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkannya. Penutur mengkreasi daya pengaruh ini dapat secara sengaja maupun tidak sengaja. Berikut ini contoh tindak perlokusi :
(5)    Tempat tinggalnya jauh
(6)    Kemarin saya sangat sibuk
Kalimat (5) dan (6) tidak hanya mangandung lokusi tetapi juga memiliki efek perlokusi. Pada kalimat (5) misalnya, apabila kalimat itu diucapkan kepada ketua organisasi, penutur menginformasikan secara tidak langsung bahwa orang yang dibicarakan tidak bisa ikut aktif dalam keguatan organisasi. Sedangkan efek perlokusi yang diharapkan agar ketua tidak memberikan  tugas yang terlalu  banyak. Hal  ini  juga  berlaku untuk kalimat (6).

4. Tuturan performatif dan tuturan konstatif
Tuturan performatif adalah tuturan yang digunakan untuk melakukan sesuatu. Contoh tuturan performatif antara lain :
(7)    Mohon maaf atas keteledoran saya kemaren
(8)    Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama
Kalimat (7) dan (8) digunakan untuk melakukan tindakan, yaitu tindakan meminta maaf dan berjanji terhadap kesalahan yang telah dilakukan.Sedangkan tuturan konstatif adalah tuturan yang digunakan untuk mengatakan sesuatu, misalnya :
(9)    Saya terima nikahnya...(saat akad nikah)
(10)     I name this building Graha Wacana
Kalimat (9) dan (10) digunakan untuk mengatakan sesuatu, yakni tuturan yang lazim digunakan dalan acara-acara resmi seperti acara pernikahan dan peresmian.

5. Jenis-jenis tindak tutur
Wijana (1996:29-30) membagi tindak tutur menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, dan tindak tutur literal dan tindak tutur nonliteral. Berbeda dengan Yule (1997:53-54) membedakan tindak tutur menjadi dua, yaitu tindak tutur berdasarkan fungsi umum dan tindak tutur berdasarkan basis struktur. Tindak tutur berdasarkan fungsi umum dibagi menjadi lima, yakni deklarasi, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Sedangkan tindak tutur berdasarkan basis struktur dibedakan menjadi dua yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.
a. Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung
Berdasarkan modusnya, kalimat diklasifikasikan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Apabila kalimat berita difungsikan secara umum untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, tindak tutur yang berbentuk adalah tinak tutur langsung (direct speech act), misalnya :
(11)     Aku mempunyai dua mobil sedan
(12)     Siapa nama cewek manis itu?
(13) Bersihkan kamar mandi itu sekarang!
Saat berbicara sopan, perintah dapat diucapkan dengan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa diperintah. Apabila hal ini terjadi maka terbentuklah tindak tutur tidak langsung (indirect speech act), misalnya :
(14) Ada orang dikamar mandi.
(15) Di mana kain pelnya?
Kalimat (14) diucapkan kepada teman yang akan masuk kamar mandi agar tidak masuk dulu karena masih ada orang didalam. Kalimat (15) diucapkan seorang ibu kepada anaknya, tidak hanya untuk mengetahui letak kain pel, tetapi secar tidak langsung manyuruh anak tersebut untuk mengepel lantai.

b. Tindak tutur Literal dan Tindak tutur nonliteral
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan kata-kata yang menyusunnya, sedangkan tindak tutur nonliteral (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Berikut contoh kedua tindak tutur tersebut.
(16) Penyanyi itu suaranya bagus.
(17) Suaramu bagus ya (tapi tidak usah nyanyi saja)
Kalimat (16) diucapkan untuk memuji kemerduan suara panyanyi, ini merupakan tindak tutur literal. Sedangkan kalimat (17) bermaksud menyindi lawan bicara bahwa sebenarnya suaranya tidak bagus jadi lebih baik tidak usah nyanyi saja.

c. Interseksi berbagai jenis tindak tutur
Apabila tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung dan tindak tutur literal dan tinda tutur nonliteral dikombinasikan maka terbentuklah tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung nonliteral, dan tindak tutur tindak langsung nonoliteral.

d. Tindak tutur langsung literal
Tindak tutur langsung literal  (direct literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan sesuai dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya, misalnya,
(18)     Orang itu sangat rajin.
(19)      Tutup pintunya!
Tuturan (18) dan (19) adalah tindak tutur langsung literal yang bermaksud memberitahukan bahwa orang yang dibicarakan sangat rajin dan menyuruh lawan bicara untuk menutup pintu.

e. Tindak tutur tidak langsung literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speect act) adalah tindak tuturyang diungkapkan dengan modus tuturan yang tidak sama dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur, contohnya,
            (20) lantainya kotor.
                    (Baik, Saya akan nyapu sekarang)
            (21) Dimana handuknya?
                    (Sebentar, Saya ambilkan)
Tuturan (20) yang diucapkan oleh seorang majikan kepada pembantunya, tidak hanya informasi tetapi bermaksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat berita. Kalimat (21) yang diucapkan seorang suami kepada istrinya bermaksud meminta diambilkan handuk yang dungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat tanya.

f. Tindak tutur langsung nonliteral
Tindak tutur langsung nonliteral (direct nonliteral speect act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya, misalnya,
            (22) Suaramu sangat bagus, kok!
            (23) Kalau ingin lulus tidur saja terus.
            Kalimat (22) menyatakan bahwa suara lawan tuturnya yidak bagus, sedangkan kalimat (23)  penutur menyuruh lawan tuturnya agar bisa lulus ujian dengan belajar, tidak tidur-tiduran saja.

g. Tindak tutur tidak langsung nonliteral
Tindak tutur tidak langsung nonliteral (indirect nonliteral speect act) adalah tindak tutur yng diungkapkan dengan modus kalimat dan makna kalimat tidak sesuai dengan maksud tuturan, contohnya,
            (24) Kamarmu bersih sekali, ya.
            (25) Suaramu pelan sekali, tidak kedengaran.
            Kalimat(24) diucapkan oleh seorang majikan kepada pembantunya untuk menyapu lantai yang kotor, demikian halnya dengan kalimat (25) yang diucapkan kepada lawan bicara untuk memelankan suaranya, karena terlalu keras. Kedua kalimat tersebut adalah kalimat berita yang bermaksud memerintah. Jadi dalam analisis tindak tutur bukan apa yang dikatakan yang penting bagaimana cara mengatakannya.



8.3  Rangkuman
Ragam bahasa muncul karena kebutuhan pemakai bahasa yang ingin menyesuaikan bahasanya dengan situasi,  kondisi, dan konteks sosial yang ditemuinya. Konteks sosial tersebut meliputi kapan komunikasi itu dipakai, di mana komunikasi terjadi, kepada siapa komunikasi itu disampaikan, masalah apa yang dibicarakan, dan dalam situasi seperti apa komunikasi terjadi.
Berdasarkan aspek penutur,  pemakaian,  keformalan, dan sarana, ragam bahasa dapat diklasifikasikan atas: (1) ragam bahasa berdasarkan penutur, (2) ragam bahasa berdasarkan waktu penggunaan, (3) ragam bahasa berdasarkan sarana/media, (4) ragam bahasa tingkat keformalan, (5) ragam bahasa berdasarkan pemakaian,
Tindak tutur (speech act) merupakan tindakan-tindakan yang diungkapkan melalui tuturan. Dalam tindak tutur biasanya terdapat peristiwa tutur. Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Tindak tutur dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlukosi (perlocutionary act).


8.4 Soal Latihan
1.      Menurut Saudara, apakah sebenarnya ragam bahasa itu? Jelaskan!
2.      Jelaskan perbedaan antara ragam bahasa tulis dan ragam bahasa lisan!
3.      Bagaimana ciri-ciri ragam bahasa ilmiah?
4.      Bacalah cerpen berikut dengan cermat kemudian analisislah ragam bahasa dan tindak tutur apa saja yang Saudara temukan di dalamnya!

Sang Primadona
15 Nopember 2005 23:10:11
Oleh: A. Mustofa Bisri
Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing. Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis; Gita, dan Ragil.
Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang –katakanlah—kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi ‘primadona’ keluarga. Kedua orangtuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.
Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun –alhamduliLlah-- juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara. Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat propinsi.
Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang disetiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.
Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.
Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, ‘Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi super bintang. Materi cukup.’

Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Kemana-mana, ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orangtua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.
Kadang-kadang untuk sekedar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.
“Nduk, ibadah itu penting.”; “Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!”; “Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang.”; “Bila kamu mempunyai rezki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim.” Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.

Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekedar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam event-event dimana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja; hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telpon atau mengirim sms yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.
Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orangtuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.
Begitulah; di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar merubah jalan hidupku.
Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.
Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.
Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orangtua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orangtua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orangtua mereka.
Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumahtanggaku. Apakah ini sekedar pelarian ataukah –mudah-mudahan—memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majlis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.
Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RTku. Tidak itu saja, aku juga getol membacai buku-buku keagamaan.
Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi ‘asisten’nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi trend yang diikuti oleh kalangan muslimat.
Ringkas cerita; dari sekedar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi ‘tokoh masyarakat’ yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan “Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona”. Aku pun harus memenuhi undangan-undangan –bukan sekedar menjadi ‘penarik minat’ seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekedar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.
Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.
Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.
Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketka aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: “Ini milik siapa, bu?”
“Apa itu?” tanyaku tak mengerti.
“Ini barang berbahaya, bu;” sahutnya khawatir, “ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!”
“Masya Allah!” Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini.
Ini sudah keterlaluan.
Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu, akibat kecanduannya mengkonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.
Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya trend kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumahtanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar –dan pasti akan mendengar—idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.
Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumahtanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumahtanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!








SEJARAH PERKEMBANGAN, KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

BAB VII
SEJARAH PERKEMBANGAN, KEDUDUKAN DAN FUNGSI
BAHASA INDONESIA
7.1 Tujuan
Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat:
1.  menjelaskan sejarah perkembangan bahasa Indonesia.
2.  menjelaskan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
3. mengidentifikasi upaya menjaga martabat bahasa Indonesia

7.2 Materi
A. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
Kita semua tahu bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.  Setelah peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, nama Indonesia resmi digunakan.  Pengubahan nama tersebut dilakukan karena bahasa Melayu (BM), dengan label Melayu tersebut menonjolkan salah satu etnis, sedangkan pada saat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan segala usaha diadakan untuk mencapai suatu persatuan. Pada waktu itu persatuan bangsa perlu digalang karena hanya dengan persatuan bangsa kita mempunyai kekuatan untuk mengusir penjajah Belanda (Badudu, 1995:28).
Pengangkatan BM menjadi bahasa Indonesia bukannya tanpa tantangan. Pada waktu itu terjadi pertarungan dua politik bahasa. Ketika para nasionalis berhasil menjadikan BM menjadi bahasa persatuan untuk bangsa kita, kaum penjajah beserta para pendukungnya di kalangan bumi putera terus-menerus melontarkan gagasan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak mempunyai otoritas. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang “kacau”  (Pabottinggi, 1996:214).
Menanggapi tuduhan tersebut Sutan Takdir Alisjahbana menulis bahwa jika benar bahasa Indonesia kacau, hal itu adalah “kekacauan yang nikmat.”  Pernyataan tersebut mengacu pada kenyataan bahwa yang bekerja dalam perkembangan bahasa Indonesia yang tampaknya liar tidak lain adalah suatu kekuatan kreatif, suatu proses transformasi, yaitu kekacauan dalam proses menjadi. Tanggapan Takdir tersebut mewakili rasa percaya diri yang kuat di kalangan para pemuda pelopor kebangkitan nasional kita pada masa itu.
Menurut Pabottinggi (1996), setidak-tidaknya ada enam alasan yang memungkinkan kuatnya rasa percaya diri para pemuda dan yang kemudian menopang bahasa Indonesia. Pertama, adanya kenyataan yang tidak bisa dibantah bahwa BM adalah lingua franca yang hidup dan telah ratusan tahun menjembatani pergaulan dan perdagangan antarasuku bukan hanya di Nusantara, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara Maritim. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa prasasti berikut.
-      Prasasti Kedukan Bukit di Palembang  (683)
-      Prasasti Talang Tuo di Palembang (684)
-      Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat (686)
-      Prasasti Gandasuli di Bogor (832)
Kedua,  penobatan BM menjadi bahasa Indonesia ditopang oleh semangat yang kuat. Bahkan dapat dikatakan terdapat hubungan simbiosis antara bahasa Indonesia dengan paham kebangsaan kita. Kesamaan lingua franca antarasuku, yang kemudian menjadi kesamaan bahasa intrabangsa ikut membidani lahirnya nasionalisme kita, dan sebaliknya, nasionalisme kita memperkuat posisi lingua franca.
Ketiga, ekslusivisme kebudayaan Belanda seperti tecermin dalam politik bahasa mereka membuat mayoritas bangsa Indonesia terpaksa harus bereksperimen dengan bahasa dan/atau kebudayaan sendiri.
Keempat, dari kalangan cerdik pandai kita terdapat tokoh-tokoh serta pejuang-pejuang yang sepenuh hati mengerahkan tenaga dan perhatian dalam rangka pembinaan bahasa nasional kita.
Kelima, sifat BM lingua franca itu sendiri sangat istimewa dalam hal watak demokratis dan kelenturan berlaku dalam berbagai kalangan. BM mempunyai kemampuan menembus berbagai kalangan serta lapisan masyarakat tanpa merusak watak dasarnya sendiri.
Keenam, kenyataan bahwa dengan memakai bahasa yang berakar dari bumi dan kultur sendiri, kita tidak perlu terjebak dalam bahasa Belanda beserta segenap sistem nilai dan pandangan dunia para pendukung utamanya.  Kita tidak perlu mengalami Uubervremdung, yaitu alienasi dari kosmologi kita sendiri akibat keterpenjaraan pada kosmologi bahasa dan bangsa  Belanda. Keadaan seperti ini banyak dialami oleh kaum cendikiawan India dan Afrika yang alam pikirannya sudah terpenjara dalam bahasa Inggris dan Perancis.
Apa yang dikemukakan oleh Pabottinggi dengan menyitir pendapat Takdir di atas, sejalan dengan pikiran Slametmuljana tentang beberapa faktor yang menjadi alasan pemilihan BM menjadi bahasa Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah faktor historis, kemudahan bahasa, psikologis, dan faktor kesanggupan bahasa (Slametmuljana dalam Wiyanto, 1987:12-13).
Faktor historis berkaitan dengan adanya realitas historis BM sebagai lingua franca. Faktor kemudahan yang berkaitan dengan BM mencakup (1) kemudahan dalam melafalkan fonem-fonem bahasa, (2) BM berstruktur sederhana, dan  (3) BM tidak tidak mengenal perbedaan bentuk yang disebabkan oleh perbedaan strata sosial pemakai (tingkat tutur kultural), seperti undha usuk dalam budaya Jawa. Faktor psikologis berkaitan dengan adanya keinginan untuk segera menciptakan persatuan di antara berbagai etnis sehingga perjuangan untuk mencapai cita-cita dapat segera dilanjutkan (Badudu, 1995:28).  Sedangkan faktor kesanggupan  berhubungan dengan kesanggupan bahasa tersebut menjadi sarana untuk mewadahi dan mengungkapkan kebudayaan nasional (Wiyanto, 1987:13).
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa bahasa Indonesia pada awal pertumbuhannya merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia dapat menjadi wahana pemersatu etnis di Nusantara dalam rangka menggalang kekuatan untuk mengusir penjajah.
Bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat dengan nasionalisme. Bahasa bersama-sama dengan kebudayaan, agama, dan sejarah dianggap sebagai unsur nasionalisme  (Fishman dalam Siregar, 1995:4). Dalam nasionalisme, bahasa berperan sebagai pengenal diri, pembeda, dan pemersatu. Konsep ini merujuk kepada perasaan dari masyarakat suatu bangsa bahwa mereka bersatu dan merasa sama dengan yang lainnya karena berbahasa sama, serta berbeda dengan lainnya karena berbahasa yang berbeda. Nasionalisme berkembang dari nasionalitas, yaitu kesadaran sekelompok masyarakat yang menganggap dirinya sebagai suatu unit sosiokultural yang berbeda dengan kelompok lain yang berkembang melampaui konsep lokal dan ikatan kesatuan daerah.  Pendapat ini sejalan dengan pandangan Bell (1995:259) yang menyatakan bahwa nasionalisme merupakan keinginan sebuah bangsa “baru” untuk mencari identitas sendiri dalam mengatasi loyalitas lokal, kesukuan, agama, atau loyalitas lain yang berbenturan dengan loyalitas terhadap negara.
Berkaitan dengan proses sosiokultural bahasa terdapat dua proses yang berbeda tetapi saling terkait satu dengan yang lain, yaitu proses nasionalisme bahasa dan proses nasionisme bahasa. Proses nasionalisme bahasa merupakan proses pertumbuhan kesadaran akan kebangsaan, yang salah satu perwujudannya tergambar melalui pengidentifikasian kebangsaan tersebut dengan bahasa. Sedangkan proses nasionisme bahasa adalah proses pemilihan dan pembakuan bahasa sebagai alat administrasi pemerintahan negara  (Siregar, 1995:5).
Perubahan BM menjadi bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai bahasa nasional berdasarkan kesepakatan hasil Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak dapat dilepaskan dari aspek historis pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Seperti telah dikemukakan oleh Pabottinggi di atas, antara bahasa Indonesia dengan nasionalisme Indonesia mempunyai hubungan simbiosis yang saling menguntungkan. Penggunaan bahasa Indonesia mendorong lahirnya nasionalisme Indonesia, dan kelahiran nasionalisme Indonesia semakin memperkuat kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Menurut Siregar (1995:7), bahasa Indonesia dalam nasionalisme Indonesia berperan sebagai pembeda kelompok, sebagai pemersatu, dan sebagai ikatan emosional dengan sejarah. Peran bahasa Indonesia tersebut dapat kita simak dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Misalnya  Budi Utomo yang didirikan oleh bangsawan Jawa, tidak menggunakan bahasa Jawa untuk alat komunikasi antaranggota. Mereka memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk menghilangkan hambatan kultural antaranggotanya. Demikian juga Ki Hadjar Dewantoro dengan Pendidikan Taman Siswanya. Fakta-fakta sejarah tersebut membuktikan bagaimana keterkaitan bahasa Indonesia dengan nasionalisme Indonesia.

B. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Pembahasan tentang kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan bahasa daerah dan bahasa asing. Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Menurut Amran Halim (1984:23), sebagai bahasa nasional bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia, dan (4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Sedangkan dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi               (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan ada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintahan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi (Halim, 1984: 24).
Selanjutnya berkaitan dengan kedudukan dan fungsi bahasa daerah dan bahasa asing, Wiyanto (1987: 10-11) mengemukakan bahwa bahasa daerah mempunyai fungsi (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah. Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai                 (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di Sekolah Dasar, di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain, dan (3) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah. Sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai (1) alat perhubungan antarbangsa, (2) alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern,  dan (3) alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk pembangunan nasional.

C.    Ancaman terhadap Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Seperti telah dikemukakan di atas, ancaman terhadap bahasa Indonesia dapat berasal dari gejala disintegrasi bangsa, warisan kolonialisme tentang sikap, dan derasnya arus globlalisasi (imperalisme bahasa dan budaya).
Dalam tulisannya di majalah Verba Vol. 1 Nomor 2 Februari 2000, Badib mengajak kita berpikir tentang masih relevankah peranan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia?  Pertanyaan tersebut dimunculkan mengingat gejala disintegrasi bangsa  benar-benar mengancam negara kita. Keberhasilan Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia secara otomatis berdampak langsung terhadap bahasa Indonesia. Demikian juga halnya jika Aceh, Irian Jaya, Riau, Maluku, Sulawesi Selatan berhasil memisahkan diri – tentu kita semua berharap hal ini tidak – dari Indonesia, hal tersebut akan berdampak sangat luar biasa terhadap keberlangsungan hidup bahasa Indonesia di daerah tersebut. Nasionisme tentu akan berlangsung pula di negara-negara baru itu.
Menurut Badib, setelah kemerdekaan bahasa Indonesia mengalami transformasi.  Bahasa Indonesia bukan saja berfungsi sebagai alat pemersatu tetapi juga berfungsi sebagai alat sosial, ekonomi, dan politik. Bahasa tidak dapat dipandang sebagai satu-satunya penentu kesatuan dan persatuan bangsa. Masih banyak faktor lain, misalnya agama, ideologi, geografis, kebudayaan, etnis, dan ekonomi.
Ancaman kedua yang juga sangat membahayakan bahasa Indonesia adalah sikap negatif terhadap bahasa Indonesia. Chaer dan Leonie Agustina (1995:198) menyatakan: “sikap merupakan fenomena kejiwaan yang biasanya termanifestasikan dalam bentuk tindakan atau perilaku.”  Lebih lanjut Garvin dan Mathiot (dalam Suwito, 1983: 91) menjelaskan bahwa sikap bahasa mengandung tiga ciri pokok, yaitu kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), dan kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness of the norm).
Sikap negatif terhadap bahasa Indonesia tersebut dapat disebabkan oleh warisan kolonialisme yang berhasil menanamkan bahwa segala sesuatu yang berasal dari luar/asing itu yang paling baik. Hal itu terwujud dalam sikap penutur bahasa Indonesia yang lebih membanggakan bahasa asing daripada bahasa nasionalnya.  Warisan lain adalah keberhasilan melakukan politik devide et impera sehingga menimbulkan pandangan bahasa Indonesia adalah penjajah bahasa daerah. Pandangan lain yang juga mencemaskan adalah adanya anggapan telah dilakukannya Jawanisasi bahasa Indonesia (simak tulisan Pabottinggi dan Benedict R. O’G. Anderson dalam Bahasa dan Kekuasaan) dan pandangan yang negatif terhadap keberadaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang dianggap sebagai “Polkam”-nya bahasa (lihat tulisan-tulisan Ariel Heryanto dalam Bahasa dan Kekuasaan).  Sikap negatif terhadap bahasa Indonesia tersebut terjadi karena selama pemerintahan Orde Baru, bahasa Indonesia bersama-sama dengan lembaga pembinanya telah dijadikan sebagai alat politik penguasa.
Ancaman ketiga yaitu bahasa Indonesia yang terkepung oleh arus globlalisasi (imperalisme bahasa dan budaya). Kekhawatiran terhadap ancaman yang ketiga ini dapat kita simak dari tulisan Harimurti Kridalaksana (1982) “Haruskah Kita Mengorbankan Bahasa Nasional Kita untuk Melayani Turis Asing dan Perusahaan Asing?”;  Chaedar Alwasilah (1997) “Imperalisme Budaya dan Budaya”;  Djoko Soeloeh Marhaen (1985) “Konflik-konflik Kebahasaan dalam Konteks Multilingual”;  dan Taufik Abdullah (1996) “Situasi Kebahasaan Masa Kini: Kepungan Eksternal dalam Perkembangan Bahasa dan Wacana di Indonesia.”
Menurut Alwasilah (1997:6),  bahasa Indonesia  yang merupakan jati diri bangsa mengalami ancaman, terutama akibat makin tidak terkendalinya pemakaian kata dan istilah bahasa asing. Menyitir hasil penelitian Gunarwan, Alwasilah menyatakan bahwa bahasa Inggris berpotensi menjadi “kendala” penanaman sikap positf dan rasa cinta kepada bahasa Indonesia. Bahasa Inggris cenderung dinilai lebih tinggi (bergengsi) daripada bahasa Indonesia. Kecenderungan ini patut kita waspadi sebagai “tanda zaman” dan cairnya semangat Sumpah Pemuda 1928.
Secara rinci Pabottinggi (1996:216) menyatakan bahwa akhir-akhir ini bahasa nasional kita tumbuh secara memprihatinkan. Terdapat tujuh butir yang dapat dikemukakan sehubungan dengan perkembangan bahasa Indonesia.
1.      Penggunaan bahasa Inggris secara berlebihan atau secara salah kaprah. Ini berlaku pada nama-nama toko dan bioskup, gedung-gedung tinggi, kompleks-kompleks perumahan mewah, pusat-pusat hiburan, hingga nama usaha-usaha di perkampungan yang tidak ada orang asingnya sekalipun, atau ceplas-ceplos dengan kata-kata Inggris di sela-sela pembicaraan para pejabat. Misalnya:  Golden Truly, The Big Family Moslem, Allah Is Our Aim (Pabottinggi, 1996);  full stereo, full video, full AC, full air mata, full asap, University of Airlangga (Marhaen, 1985).
2.      Pelanggaran kaidah-kaidah bahasa Indonesia di media massa maupun di tempat umum. Yang paling lazim ialah ketidakmampuan membedakan cara menulis awalan di dengan kata depan di atau bergandanya kata “walaupun” dan “namun” dalam satu kalimat.
3.      Masuknya struktur kalimat bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang sifatnya tidak pas dan merusak bahasa Indonesia. Misalnya: “Segar Rasa Buahnya, Enak Dikunyahnya”; “Nanti tak undang, ya?”; “Semuanya tak bereskan minggu depan.”
4.      Gejala kemalasan berpikir yang mulai parah tampak dalam kebiasaan membuat predikat kalimat menurut subjeknya. Misalnya: “Pengumunan itu akan diumumkan ....”;  “Pelaksanaan proyek itu akan dilaksanakan ....”
5.      Meluasnya kecenderungan akronim secara sewenang-wenang dan membingungkan khalayak, bahkan menyalahi prinsip akronim yang didasarkan pada pemakaian suku-suku kata yang nyata ada dalam kata-kata yang hendak diakronimkan. Misalnya: “Kloter”.
6.      Pelecehan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Misalnya “even” untuk “event”; “brenghsex”.
7.      Pelecehan bahasa Indonesia oleh ideologi pendidikan kita yang cenderung menomorduakan ilmu-ilmu noneksakta.
Selain apa yang dikemukakan oleh Pabottinggi di atas, hal lain yang dapat ditambahkan berkaitan dengan pertumbuhan bahasa Indonesia yang memprihatinkan adalah:
8.      Pemerkosaan terhadap aspek semantis kosakata. Hal ini dapat dilihat pada munculnya penggunaan kosakata seperti: “anak bangsa”, “atas nama rakyat”, “sebatas wacana”, “sebagian besar masyarakat”  yang tidak jelas rujukannya.
9.      Distorsi perkembangan bahasa dengan penggunaan kosakata yang cenderung menonjolkan perilaku sadis dan brutal dalam surat kabar. Misalnya kata diperkosa, dikepruk, dibantai, dihabisi, dibacok, dibakar dan lain-lain.

D.    Upaya Menjaga Martabat Bahasa Indonesia
Menjaga martabat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan suatu usaha yang sangat berat. Hal ini disebabkan oleh beratnya beban yang harus ditanggung oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Badib (2000: 141) mengusulkan agar disusun konsep reorientasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi bahasa Indonesia. Usaha tersebut tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor pendukung kesatuan dan persatuan bangsa yang meliputi agama, ideologi, kebudayaan, etnis, ekonomi, dan politik.
Sejalan dengan pendapat Badib, Pabottinggi mengajukan konsep otosentrisitas. Menurut Pabottinggi (1996:219), agar bahasa Indonesia mempunyai otoritas, yang perlu dilakukan bukan suatu politik bahasa, melainkan pelaksanaan kebijakan otosentrisitas, yaitu kesadaran bahwa apa pun yang kita lakukan dalam keseluruhan dinamika ekonomi, politik, dan kultural kita, yang diutamakan  adalah pembangunan “jiwa dan raga” bangsa kita.  Dengan prinsip ini, bangsa kita tidak menjadi kuli di negerinya sendiri, agar merekalah yang sungguh-sungguh menjadi pemilik dari tanah dan airnya, dan agar bahasanyalah yang menduduki tempat paling terhormat dalam seluruh kegiatan komunikasi nasional maupun lokal di negerinya.
Alwasilah (1997:6) menyatakan bahwa untuk menanamkan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia adalah dengan resep strategi kesejahteraan secara ekonomi dan politik. Jika rakyat hidupnya sejahtera, nalarnya tinggi, dan menikmati kebebasan berekspresi dan berkreasi dengan bahasa Indonesia sebagai wujud seni, kecendikiaan, atau kritik sosial, maka kebangsaan dan kebahasaan Indonesia dengan sendirinya akan semakin membanggakan.
Penulis setuju dengan pendapat di atas. Selama bangsa kita menjadi bangsa peminta-minta, tidak mempunyai kekuatan ekonomi yang mapan akan sulit  menumbuhkan rasa bangga kepada bahasa Indonesia. Kalau bangsa kita mempunyai tingkat pendidikan yang “tinggi” sehingga menguasai bidang IPTEK dan seni  yang berdampak pada kemapanan dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya,  hal tersebut secara langsung akan dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa dan bahasa Indonesia.

7.3 Rangkuman
Perubahan bahasa Melayu menjadi bahasa Nasional merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa kita karena tidak banyak bangsa yang mampu melakukan pemilihan bahasa nasionalnya seperti bangsa kita. Bahasa nasional kita tersebut patut dibanggakan karena mampu menyatukan tekad, semangat, dan cita-cita seluruh etnis dalam rangka membentuk nasionalitas dan nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara mempunyai fungsi tersendiri. Demikian pula dengan bahasa daerah dan bahasa asing.
Namun demikian, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional perlu dijaga dari berbagai ancaman. Ancaman tersebut dapat berupa gejala disintegrasi bangsa,  perwujudan sikap negatif sebagai warisan kolonialisme, dan  kepungan arus globlalisasi. Upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga martabat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah dengan melakukan reorientasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi bahasa Indonesia. Usaha ini bisa ditempuh dengan kebijakan pembangunan yang bersifat otosentrisitas, yaitu keberpihakan dan pengutamaan bangsa sendiri. Keberhasilan pembangunan dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya  akan menyejahterakan rakyat Indonesia. Hal ini dengan sendirinya akan membuat kebangsaan dan kebahasaan Indonesia semakin membanggakan.

7.4 Soal Latihan
Perintah: Diskusikan dengan teman Saudara latihan berikut kemudian presentasikanlah di depan kelas!
1.      Benarkah bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang telah lama berfungsi sebagai lingua franca? Berikan argumentasi dan bukti!
2.      Jelaskan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional! Menurut Saudara apakah fungsi tersebut sudah berjalan dengan baik? Jelaskan!
3.      Jelaskan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara!  Jelaskan!
4.      Bagaimanakah tanggapan Saudara terhadap pemakaian bahasa Indonesia di kalangan kelompok tertentu yang cenderung mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris?
5.      Apakah saran Saudara agar bahasa Indonesia dapat semakin kokoh dalam kedudukannya sebagai bahasa negara dan bahasa nasional? Berikan argumentasi!

Read more: Menampilkan Koordinat Mouse di Halaman Blog | Mas Bugie [dot] com http://www.masbugie.com/2011/01/menampilkan-koordinat-mouse-di-halaman.html#ixzz2ErQJ3xw6