Rabu, 12 Desember 2012

RAGAM MAKNA

BAB VI
RAGAM  MAKNA

6.1 Tujuan
Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat:
1.  menjelaskan teori makna.
2.  mendeskripsikan jenis makna.
3.  membedakan relasi makna.
4.  mengidentifikasi perubahan makna.

6.2 Materi

A. Teori Makna
Sebelum berbicara tentang ragam makna, ada baiknya kita kaji terlebih dahulu beberapa teori makna yang mencakup teori referensial, teori ideasional, dan teori tingkah laku.
1.      Teori Referensial
Dalam pandangan teori referensial, arti suatu kata atau ungkapan dalam bahasa dapat diidentifikasi dengan melihat apa yang diacunya atau hubungan antara kata atau ungkapan itu dengan apa yang diacunya (Alston, 1964:12)  Hal ini terutama berkaitan dengan nama diri atau nama suatu objek.  Seekor kucing yang warna kulitnya terdiri atas tiga warna, dalam bahasa Jawa sering disebut Si Telon atau karena tingkah laku kucing itu menggemaskan dan lucu diberi nama Si Manis.  Seseorang yang kebetulan mempunyai cacat fisik sehingga jalannya pincang dijuluki Si Pincang.
Lebih lanjut Alston menyatakan bahwa sesuatu yang diacu tidak harus sesuatu yang konkret atau sesuatu yang dapat diamati. Acuan tersebut dapat berupa jenis sesuatu, kualitas sesuatu, bentuk sesuatu,  suatu hubungan, dan lain sebagainya.  Misalnya pada contoh-contoh berikut.
(1) Pemimpin itu sangat bijaksana.
(2) Banjir dengan ketinggian 4 meter melumpuhkan kota Jakarta.
(3) Foto model terkenal itu adik teman saya.
Pada kalimat (1), kata bijaksana merupakan suatu kualitas. Pada kalimat (2), banjir dengan ketinggian 4 meter merupakan suatu bentuk peristiwa, sedangkan pada kalimat (3), kata adik mengacu pada hubungan keluarga.
Dalam pengertian yang lebih khusus, Aminuddin (2003:55) menyatakan bahwa dalam teori referensial makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia untuk menunjuk dunia luar. Sebagai label atau julukan, makna hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan simpulan yang keseluruhannya berlangsung sangat subjektif.  Misalnya kata pohon bagi Goenawan Mohamad mempunyai makna tersendiri. Kata itu  tidak hanya merujuk pada jenis tumbuh-tumbuhan, tetapi memperoleh julukan sebagai ‘ciptaan’, ‘hidup’, ‘fana’ sehingga dalam baris puisinya dinyatakan …. Pohon berbagi dingin di luar jendela, mengekalkan yang esok mungkin tak ada. 
Sementara bagi orang lain pada masa orde baru, kata pohon (beringin) misalnya, dapat dimaknai sebagai ‘persatuan’ maupun ‘kehidupan bermasyarakat’.  Referensi yang bersifat khusus semacam ini  menyebabkan keberadaan makna sangat ditentukan oleh adanya nilai, motivasi, sikap, pandangan, maupun minat secara individual (Aminuddin, 2003:56).
Pandangan bahwa makna itu merujuk pada sesuatu yang diacunya dianggap sebagai versi awal teori referensi. Dalam perkembangannya, teori ini menyatakan bahwa makna suatu kata atau ungkapan dapat dikenali dengan mengidentifikasi hubungan antara kata atau ungkapan itu dengan sesuatu yang diacunya. Baik versi pertama maupun versi yang kedua dianggap mempunyai kelemahan.
 Altons (1964:13) menyatakan kelemahan teori referensial adalah sebagai berikut. Pertama, teori referensial dianggap tidak memadai dan akurat karena ada dua buah ungkapan yang mengandung arti berbeda padahal  mempunyai acuan yang sama. Sebagai contoh, ujaran “Bapak Susilo Bambang Yudoyono” dan “presiden RI sekarang”. Kedua ujaran ini mengacu pada referen yang sama, tetapi makna ujaran “Bapak Susilo Bambang Yudoyono”  berbeda artinya dengan “presiden RI sekarang”. Berkaitan dengan konteks semacam ini, Altons menjelaskan, “Jika dua ungkapan itu dikatakan mengandung arti yang sama, maka identitas pernyataan dengan istilah-istilah (terms) sebagai komponennya haruslah benar semata-mata atas dasar arti dari kedua ungkapan tersebut.  Misalnya pada ujaran, “satu-satunya paman saya” dan “satu-satunya saudara laki-laki atau ibu saya”. Kedua ujaran tersebut mempunyai acuan yang sama dan sekaligus mempunyai makna yang sama.
Kelemahan yang kedua berhubungan dengan adanya kata atau ungkapan yang artinya sama tetapi acuannya berbeda.  Misalnya pada kata-kata yang bersifat deiksis. Kata-kata seperti saya, anda, di sini, ini, itu, dan sejenisnya memiliki arti sama tetapi acuannya berpindah-pindah sesuai dengan konteksnya.
2.      Teori Ideasional
Teori ideasi merupakan teori yang mengenali arti suatu kata atau ungkapan dengan gagasan-gagasan (idea-idea) yang berhubungan dengan ungkapan tersebut (Altons, 1964:16).  Dalam menelusuri makna, teori ini menghubungkan makna suatu kata atau ungkapan dengan suatu ide atau representasi psikis yang ditimbulkan oleh kata atau ungkapan tersebut kepada kesadaran. Dengan kata lain, teori ideasional mengidentifikasikan arti ekspresi dengan gagasan-gagasan yang menimbulkan atau juga ditimbulkan oleh ekspresi itu.
Pada dasarnya, teori ideasional memandang bahasa sebagai alat /instrumen  untuk mengomunikasikan pikiran atau gagasan atau sebagai suatu gambaran eksternal dari suatu keadaan yang bersifat internal.  Dalam konteks ini, suatu kata atau ujaran merupakan sebuah gambaran terhadap apa yang dipikirkan oleh manusia. Yang memberi arti suatu kata atau ungkapan adalah kenyataan bahwa ungkapan terebut digunakan secara teratur dalam komunikasi sebagai tanda dari suatu gagasan yang pasti (Mustansyir, 1988:110).  Dengan demikian, makna suatu ujaran dalam bahasa sangat ditentukan oleh gagasan atau pikiran yang ada dalam diri manusia. Ungkapan-ungkapan tersebut baru mempunyai makna apabila berfungsi sebagai ‘pengemban tugas’ dari gagasan manusia. Ungkapan tersebut mempunyai makna karena ia mewakili gagasan-gagasan yang perlu diungkapkan dalam rangka komunikais antarmanusia.
Lebih lanjut, Mustansyir (1988:111) mengemukakan bahwa menurut teori ini, apabila suatu kata atau ungkapan digunakan ada beberapa hal yang harus dipenuhi. (1) gagasan atau ide itu harus hadir dalam di dalam pikiran si penutur, (2) si penutur harus mengutarakan ungkapan itu sehingga penanggap tuturnya mengetahui bahwa gagasan atau ide itu ada dalam pikiran si pembicara saat itu, dan (3) jika komunikasi itu berhasil, maka ujaran itu harus membangkitkan gagasan atau ide yang sama dalam diri pendengarnya.
Kelemahan dari teori ideasional adalah tidak dapat dipastikan bahwa setiap gagasan yang dilontarkan akan menimbulkan gambaran akan gagasan atau ide yang sama dalam pikiran pendengar.  Hal ini dapat menyebabkan terjadinya salah persepsi (misunderstanding) dalam suatu komunikasi verbal.  Fenomena ini dapat disimak pada contoh kalimat berikut.
(4) Pukul 14.00 kemarin, Shelly mati.
Kalau disimak kalimat (4) tersebut tentu akan sangat sulit memahami  Shelly itu apa.  Apakah Shelly itu nama seekor binatang atau nama seseorang.  Apalagi jika kata Shelly tersebut mempunyai banyak rujukan akan semakin banyak menyebabkan salah pengertian antara penutur dengan penanggap tuturnya dalam memahami ujaran karena gambaran ide yang berbeda.  Demikian juga misalnya ketika seseorang mengatakan kalimat berikut.
(5) Tommy telah lepas kemarin siang.
Jika tidak memahami konteks yang sebenarnya, orang akan mengira bahwa yang dimaksud dengan Tommy di sini  merujuk pada putra kesayangan mantan presiden Soeharto karena dalam ideasi orang pada umumnya demikian. Tetapi ternyata dalam kalimat tersebut yang dimaksud bukan itu. Yang lepas pada kemarin siang tersebut adalah seekor burung kesayangan seseorang yang oleh pemiliknya tersebut diberi nama Tommy.

3.      Teori Tingkah Laku
Teori tingkah laku berakar dari pandangan kaum behavioristik yang menekankan pada hubungan antara stimulus dengan respon.  Dalam pandangan  teori tingkah laku, makna suatu kata atau ungkapan dapat dikenali atau diidentifikasi dari rangsangan-rangsangan/stimuli-stimuli yang menyebabkan timbulnya ujaran dan atau tanggapan/respon yang ditimbulkan oleh ucapan tersebut (Alston, 1964:25).   Sebagai contoh ketika seorang guru mengatakan kepada muridnya, “Tidak ada penghapus ya!”. Ujaran tersebut tidak saja bermakna bahwa guru itu tidak menemukan ada penghapus di dalam kelas, tetapi juga secara tidak langsung bermakna memerintah siswa untuk membersihkan papan tulis. Dalam teori fungsi yang dikemukakan oleh Halliday, ini disebut sebagai fungsi direktif.
Teori tingkah laku memiliki kemiripan dengan teori ideasi. Kemiripan yang pertama,  teori tingkah laku ini juga memusatkan perhatian pada sesuatu yang terlibat dalam penggunaan bahasa dalam komunikasi.  Kedua, teori tingkah laku juga mengandaikan adanya situasi dan tanggapan tertentu yang umum sifatnya dan selalu sama ketika kata atau ungkapan itu dikatakan mempunyai arti sama. Sedangkan perbedaannya, teori tingkah laku lebih memfokuskan perhatiannya pada aspek-aspek yang dapat diamati dalam suatu komunikasi (Judowibowo dalam Mustansyir, 1988:114).
Lebih lanjut Alston (1964:26) mengemukakan asumsi yang mendasari teori tingkah laku dalam pemakaian bahasa. Asumsi pertama, harus ada bentuk-bentuk yang umum dan khas pada semua situasi sehingga pada saat suatu ungkapan diujarkan, maka ujaran tersebut akan memberikan suatu pengertian.  Misalnya ketika seseorang mengatakan, “Manusia itu adalah makhluk yang berakal.” Ujaran itu akan berlaku baik dalam situasi umum maupun khusus. Karena dalam situasi apapun makna ujaran tersebut tetap berlaku.
Kedua, harus ada bentuk-bentuk yang umum dan khas pada semua tanggapan yang ditimbulkan oleh pengucapan ungkapan yang dikemukakan tersebut.  Misalnya ketika seorang bapak memarahi anaknya yang pulang larut malam dengan kalimat, “Baru jam berapa ini, kok sudah pulang?”  Respon umum yang diharapkan tentu si anak akan menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi perbuatannya. Ini sebagai suatu respon yang positif. Tetapi bisa juga respon yang muncul justru respon yang negatif, respon yang sama sekali tidak dikehendaki oleh bapak tadi. Misalnya si anak menjawab dengan ketus, “Alah, ini juga belum pagi.” Atau si anak malah keluar lagi dan tidak pulang sampai pagi. Hal ini menunjukkan bahwa suatu ujaran tertentu pada situasi tertentu memilik makna tertentu yang akan menimbulkan tanggapan atau respon tertentu pula.   Inilah yang menjadi pemahaman terhadap makna suatu ujaran menjadi rumit.
B. Macam-Macam Makna
            Berkaitan dengan ragam makna dalam  subbab ini akan dibahas makna leksikal dan  makna gramatikal, makna denotatif dan makna konotatif, makna referensial dan makna nonreferensial, serta makna konseptual dan makna asosiatif.
1.      Makna leksikal  dan makna gramatikal
            Leksikal merupakan bentuk ajektif dari kata leksikon, yaitu kosakata atau perbendaharaan kata dalam suatu bahasa. Satuan dari leksikon adalah leksem, satuan bentuk bahasa yang bermakna.  Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan leksikalnya. Dengan demikian makna leksikal sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Misalnya makna kata belut pada kalimat Belut itu hidup di dalam lumpur dan sangat licin. Dalam kalimat tersebut kata belut merujuk pada ikan yang bentuknya panjang mirip ular dan kulitnya sangat licin.  Contoh lain misalnya kata tikus pada kalimat Panen padi gagal karena serangan tikus.  Kata tikus pada kalimat tersebut merujuk pada binatang.  Demikian pula dengan kalimat  Anak itu sedang sakit kepala.  Kata kepala merujuk pada anggota badan.  Kata belut, tikus, dan kepala pada kalimat di atas tidak lagi bermakna leksikal jika berada dalam konteks kalimat berikut.
-          Orang itu benar-benar belut.
-          Sekarang ini tikus-tikus kantor semakin merajalela.
-          Karena korupsi,  kepala  kantor perpajakan itu dipenjara.
            Makna gramatikal adalah makna yang hadir akibat proses gramatikal; afiksasi (pemberian imbuhan), reduplikasi (pengulangan), dan komposisi (pemajemukan). Misalnya arti ber- pada bersekolah  mempunyai arti gramatikal yang berbeda dengan ber- pada berpakaian dan  beranak. Kata barat mempunyai arti yang berbeda setelah mengalami pengulangan yang berkombinasi dengan afiks pada kata kebarat-baratan.  Demikian pula kata rumah dan sakit ketika bergabung menjadi bentukan baru rumah sakit; kata tangan dan kanan menjadi tangan kanan. Kata-kata tersebut berubah maknanya karena mengalami proses gramatikal.

2.      Makna denotatif  dan makna konotatif
            Makna denotatif dan makna konotatif dibedakan berdasarkan ada tidaknya nilai rasa dalam sebauh kata. Makna denotatif merupakan makna yang sesuai dengan referensinya sehingga sering disebut juga sebagai makna referensial.  Makna denotatif merupakan makna yang berkaitan dengan fakta-fakta objektif suatu kata. Misalnya kata perempuan dan wanita  secara denotatif memiliki makna sama yaitu ‘manusia dewasa yang bukan laki-laki’. Demikian pula dengan kata istri dan bini atau suami dan laki. Kata istri dan bini mempunyai arti ‘wanita yang mempunyai suami’ dan kata suami dan laki mempunyai arti ‘laki-laki yang mempunyai istri’. Kedua pasangan tersebut mempunyai makna denotatif sama.
            Sedangkan makna konotatif  adalah makna yang berhubungan dengan nilai rasa. Misalnya: gadis – cewek; wanita-perempuan; suami-laki; putra-anak; pria - laki-laki. Kata-kata yang berada pada urutan awal pada umumnya dianggap mempunyai konotasi positif, sedangkan kata pada urutan kedua dianggap mempunyai konotasi negatif.  Makna konotasi tersebut tidak hanya pada kata benda saja, pada kata kerja pun juga dapat ditemukan nilai rasa tersebut. Misalnya pada kata meninjau- mengintip. Kedua kata tersebut sebenarnya mempunyai makna dasar yang sama yaitu melihat, tetapi kata memantau memiliki konotasi positif sedangkan mengintip memiliki konotasi negatif.

3.  Makna referensial dan makna nonreferensial
      Makna referensial  dan nonreferensial dibedakan atas ada tidaknya referen kata tersebut. Bila kata-kata tersebut mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang dirujuk atau diacu oleh kata itu, maka kata itu disebut sebagai kata bermakna referensial. Sebaliknya jika tidak mempunyai rujukan disebut sebagai kata bermakna nonreferensial.  Misalnya kata  anak dalam kalimat Anak itu sedang menangis. Kata anak dan menangis memiliki makna referensial. Demikian juga dengan kata ganti pada kalimat berikut. Dia sedang berduka dan Di sini tidak dijual barang bajakan. Kata dia dan di sini mempunyai makna referensial. Kata yang bermakna nonreferensial biasanya berupa kata tugas: preposisi dan konjungsi.  Misalnya di, ke dari, pada, ketika, sementara, dan lain-lain.

4.      Makna  konseptual dan makna asosiatif
            Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya. Makna konseptual terbebas dari asosiasi atau hubungan apa pun.  Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dihubungkan dengan sesuatu di luar bahasa. Misalnya dikaitkan dengan budaya atau konvensi-konvensi yang disepakati oleh masyarakat.  Kata melati misalnya memiliki makna konseptual ‘bunga berwarna putih dengan bau yang harum’ tetapi kata melati memiliki  hubungan dengan  makna ‘kesucian’, ‘kematian’. Kata merah, mempunyai makna konseptual ‘warna’ tetapi secara asosiatif dapat berarti ‘komunis’, ‘PDI’, ‘berani’, ‘spirit’. Hal ini sangat bergantung pada konteks  tuturan dan konteks budayanya.

C. Relasi Makna
Relasi makna merupakan hubungan makna antara satu kata dengan kata lain dalam bahasa atau antara satuan gramatik yang satu dengan satuan gramatik yang lain. Relasi makna ini meliputi (1) sinonimi, (2) antonimi, (3) homonimi, (5) hiponimi, dan (6) polisemi, Masing-masing akan dipaparkan sebagai berikut.
1. Sinonimi
Dilihat dari asal-usul katanya, sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu onama yang berarti ’nama’ dan syn yang berarti ’dengan (Chaer, 2002:82). Sinonimi berarti ’nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Menurut Verhaar (1978), sinonimi adalah ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Misalnya kata bunga dengan kembang dan puspa; buruk dengan jelek; baik dengan bagus; mati, meninggal, wafat, gugur, mampus; melihat, menatap, melirik, mengerlig, memandang, memantau, meninjau;  aku dengan saya, dan masih banyak lagi contoh sinonimi yang lain. Sinonimi ada yang bersifat dua arah (mutlak), tetapi ada juga yang tidak bersifat mutlak.  Kata buruk dengan kata jelek dapat dikatakan sinonimi dua arah, tetapi mati, meninggal, wafat, gugur, tewas, dan mampus tidak bersifat mutlak.  Artinya antara satu bentuk dengan bentuk sinonimnya tidak selalu dapat menggantikan sepenuhnya.
Ketidakmungkinan menggantikan sebuah kata dengan sinonimnya, menurut Chaer (2002) disebabkan oleh berbagai faktor berikut. (1) faktor waktu, misalnya antara hulubalang dengan komandan; (2) faktor tempat atau daeah, misalnya kata aku, gue, beta; (3) faktor sosial, misalnya antara aku dengan saya, minta dengan mohon, (4) faktor bidang kegiatan, misalnya tasawuf, kebatinan, mistik; (5) faktor nuansa makna, misalnya penginapan, hotel, losmen, motel; bini, istri, teman hidup, mantan pacar.

2.      Antonimi
Antonimi juga berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onama yang berarti ’nama’ dan anti yang berarti ’melawan’. Secara semantis, antonimi merupakan ungkapan yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan yang lain (Verhaar, 1978).  Misalnya buruk-bagus, menjual-membeli, hidup-mati. Antonimi sering kali disebut sebagai oposisi makna. Oposisi makna dibedakan atas:
a.       Oposisi mutlak, yaitu pertentangan makna secara mutlak. Misalnya hidup-mati; diam-bergerak.
b.      Oposisi kutub, yaitu pertentangan yang memiliki tingkatan atau gradasi. Misalnya kaya-miskin, pintar-bodoh, jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, luas-sempit, dan lain sebagainya.
c.       Oposisi hubungan, yaitu relasi makna yang saling melengkapi. Kata yang satu muncul karena kehadiran kata lain yang menjadi oposisinya. Misalnya pria-wanita, menjual-membeli, suami-istri, maju-mundur, pulang-pergi, ayah-ibu, guru-murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan.
d.      Oposisi hierarkial, yaitu relasi yang menunjukkan suatu deret jenjang atau tingkatan. Misalnya meter dengan kilometer, kilogram dengan kuintal dan ton.
e.       Oposisi majemuk, yaitu kata yang beroposisi dengan lebih dari satu kata. Misalnya berdiri dengan kata duduk, berbaring, tidur, jongkok, tiarap; kata diam dengan bergerak, berbicara, bekerja.
3.      Homonimi, Homofoni, Homografi
Homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno onama yang berarti ’nama’ dan homo yang berarti ’sama’. Homonimi diartikan sebagai nama sama untuk benda atau hal lain, sedangkan secara semantis diartikan sebagai kata atau ungkapan yang bentuknya sama dengan kata atau ungkapan lain tetapi maknanya berbeda.  Homonimi dibedakan atas (1) homofoni, yaitu ungkapan yang memiliki lafal atau ucapan sama tetapi berbeda tulisan. Misalnya kata bang yang berarti ’kakak’ dengan bank yang berarti ’tempat menyimpan atau bertransaksi uang’, kata sangsi yang berarti ’ragu-ragu’ dengan sanksi yang berarti ’hukuman’; (2) homografi, yaitu ungkapan yang tulisannya sama tetapi berbeda lafalnya. Misalnya kata teras yang dilafalkan /t|ras/ yang berarti ’bagian dalam kayu’ dan /teras/ yang berarti ’bagian depan rumah’ atau ’bagian tanah datar yang miring’; (3) homofoni-homografi, yaitu ungkapan yang baik tulisan maupun lafalnya sama. Misalnya kata bisa yang berarti ’racun’ dan yang berarti ’dapat’, kata buku yang berarti ’ruas’ dan ’kitab’.

4.      Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onama, artinya ’nama’ dan hypo yang berarti ’di bawah’. Hiponimi dapat diartikan sebagai ’nama yang termasuk di bawah nama lain’.  Secara semantis, hiponimi adalah kata atau ungkapan yang maknanya merupakan bagian dari makna suatu ungkapan yang lain. Misalnya kata ikan sebagai hipernim, kata yang membawahi kata-kata lain, berhiponim dengan tongkol, bandeng, tenggiri, tuna, teri, mujair, cakalang, kerapu, kakak. Antara tongkol dengan bandeng disebut sebagai kohiponim.



5.      Polisemi
Polisemi diartikan sebagai satuan gramatik yang memiliki makna lebih dari satu. Misalnya kata kepala mempunyai arti (1) bagian tubuh dari leher ke atas, (2) bagian dari sesuatu yang terletak di atas atau depan yang merupkan bagian yang penting atau utama, (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, (4) pemimpin atau ketua, (5) jiwa atau orang, dan (6) akal budi.

D. Perubahan Makna
Bahasa bersifat dinamis. Salah satu wujud kedinamisan bahasa adalah adanya perubahan yang terjadi pada makna suatu kata. Misalnya kata saudara, ibu, bapak, sarjana, berlayar, dan lain-lain. Kata-kata itu mengalami perubahan arti. Perubahan makna yang terdapat dalam suatu kata dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu (1) perkembangan ilmu dan teknologi, misalnya pada kata berlayar, kereta api; (2) perkembangan sosial budaya, misalnya kata bapak, ibu, saudara; (3) perbedaan bidang pemakaian, misalnya kata menggarap, bajakan, menggembleng, asimilasi; (4) asosiasi, misalnya pada kata amplop, kursi, catut; (5) pertukaran tanggapan indera, misalnya pada kata pedas, hambar, enak, sedap, manis, pahit, berat; (6) perbedaan tanggapan, misalnya pada kata wanita-perempuan, bini-istri, laki-suami; (7) proses gramatikal, misalnya proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi; (8) pengembangan istilah, misalnya papan, sandang, teras, paket, galak, tayang.  Coba diskusikan dengan teman-teman Saudara mengapa kata-kata tersebut mengalami perubahan makna atau mengapa suatu proses itu menyebabkan terjadinya perubahan makna!
Perubahan yang terjadi karena faktor-faktor yang telah disebutkan di atas mencakup berbagai jenis perubahan berikut.
1.      Perluasan makna
Perluasan makna merupakan gejala pada suatu kata atau leksem yang semula hanya mempunyai sebuah makna kemudian karena berbagai faktor memiliki makna-makna yang lain.  Misalnya pada kata saudara yang semula berarti ’seperut’ atau ’sekandung’  kemudian mengalami perluasan arti untuk menyebut ’siapa saja’. Perluasan makna tersebut juga terjadi pada kata bapak, ibu, kakak, adik. Kata lain yang juga mengalami perluasan makna misalnya mencetak dan baju.  Kata mencetak yang semula digunakan pada bidang percetakan meluas penggunaannya padada bidang-bidang yang lain. Misalnya pada bidang olahraga, pendidikan; kata baju yang semula berarti ’pakaian atas’ sekarang sudah meluas menjadi pakaian secara lengkap atas dan bawah. Misalnya pada istilah baju dinas, baju olahraga.

2.      Penyempitan makna
Penyempitan arti merupakan gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi lebih terbatas.  Misalnya kata sarjana yang berasal dari bahasa sanskerta sajjana yang berarti ’orang pandai’ atau ’cendikiawan’ sekarang maknanya menyempit menjadi ’orang yang lulus perguruan tinggi’.  Penyempitan arti juga terjadi pada kata ahli yang semula berarti ’orang yang masuk dalam suatu golongan’ sekarang berubah menjadi ’pakar’ atau ’orang yang ahli pada suatu bidang ilmu’.

3.      Perubahan total
Perubahan total merupakan berubahnya secara menyeluruh makna sebuah kata dari makna asalnya sehingga makna yang baru sama sekali berbeda dengan makna asalnya. Misalnya kata ceramah yang semula berarti ’cerewet’ atau ’banyak cakap’ sekarang berarti ’pidato atau uraian mengenai suatu hal yang disampaikan di depan orang banyak’. Kata seni yang semula berarti ’kencing atau air kencing’  sekarang digunakan sebagai padanan dari kata art, yang berarti karya atau ciptaan yang memiliki nilai estetis tinggi. Kata pena yang dalam bahasa Sanskerta berarti ’bulu’ sekarang diartikan sebagai ’alat tulis yang menggunakan tinta’.

4.      Penghalusan (Eufimia)
Eufimia merupakan suatu upaya menampilkan kata-kata yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih sopan daripada kata yang digantikan. Misalnya kata penjara atau bui digantikan dengan kata Lapas (Lembaga Pemasayarakatan); kata korupsi diganti dengan menyalahgunakan jabatan; hutang atau pinjaman digantikan dengan kata bantuan; ditangkap diganti diamankan; kata babu diganti pembantu rumah tangga dan pramuwisma; kata dipecat diganti dengan pemutusan hubungan kerja (di-PHK); kenaikan harga diganti dengan perubahan harga, penyesuaian tarif, atau pemberlakuan tarif baru.

5.  Pengasaran (disfemia)
Disfemia merupakan upaya menggantikan kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan makna yang lebih kasar.  Misalnya kata kalah digantikan masuk kotak; mengambil dengan seenaknya diganti mencaplok; mengeluarkan diganti dengan mendepak; kata meraih diganti dengan menggondol atau mencuri.




6.3 Rangkuman
Makna merupakan arti yang terdapat dalam suatu kata atau ungkapan.  Terdapat berbagai teori yang menjelaskan makna, yaitu teori referensial, ideasional, dan tingkah laku.   Ragam makna mencakup makna leksikal dan  makna gramatikal, makna denotatif dan makna konotatif, makna referensial dan makna nonreferensial, serta makna konseptual dan makna asosiatif. Relasi makna merupakan hubungan makna antara satu kata dengan kata lain dalam bahasa atau antara satuan gramatik yang satu dengan satuan gramatik yang lain. Relasi makna ini meliputi (1) sinonimi, (2) antonimi, (3) homonimi, (5) hiponimi, dan (6) polisemi. Makna yang terkandung dalam kata atau ungkapan mengalami suatu perubahan, perubahan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Perubahan makna meliputi perluasaan makna, penyempitan makna,  perubahan total, eufimia, dan disfemia.

6.4 Soal Latihan
1.  Jelaskan perbedaan pandangan teori referensial, ideasional, dan tingkah laku dalam melihat makna kata!
2.  Berikan contoh masing-masing 3 buah kata atau ungkapan yang mengalami perluasan arti, penyempitan arti, dan perubahan total!
3. Jelaskan dengan contoh faktor-faktor yang menyebabkan perubahan makna dalam suatu bahasa!
4.  Bacalah dengan cermat puisi di bawah ini, kemudian identifikasi kata yang bermakna denotatif, konotatif, asosiatif dan relasi apa saja yang Saudara temukan dalam puisi tersebut!

DIALOG BUKIT KEMBOJA

                     Karya D. Zawawi Imron

(1)        Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah

            di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah

(2)        Seorang nenek, pandangnya tua memuat jarum cemburu
menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu

(3)        “aku anak almarhum,” jawabku dengan suara gelas jatuh
Pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu

(4)        “Lewat berpuluh kemarau
telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku”

(5)        Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
seperti puisi mekar pada lembar bunga basah

(6)        “Anakku mati di medan laga, dahulu
saat Bung Tomo mengipas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”

(7)        Jauh di lembah membias rasa syukur
pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur

(8)        “Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke mana
Tak kutemu. Tak ada yang tahu
Sedangkan aku ingin ziarah, menyampaikan terima kasih
atas gugurnya: Mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”

(9)        “Tapi ayahku sepi pahlawan
Tutur orang terdekat, saat ia wafat
jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi dia bukan anakmu”

(10)      “Apa salahnya kalau sesekali
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku kepada musuh jadi luruh’
(11)      Sore berangkat ke dalam remang
ke kelepak kelelawar

(12)      “Hormatku padamu nenek! Karena engkau
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”

(13)      “Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma minta:
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu!”

(14)      Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu

1995





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: Menampilkan Koordinat Mouse di Halaman Blog | Mas Bugie [dot] com http://www.masbugie.com/2011/01/menampilkan-koordinat-mouse-di-halaman.html#ixzz2ErQJ3xw6