BAB VI
RAGAM MAKNA
6.1 Tujuan
Setelah mempelajari bab ini
diharapkan mahasiswa dapat:
1. menjelaskan teori makna.
2. mendeskripsikan
jenis makna.
3. membedakan relasi makna.
4. mengidentifikasi perubahan
makna.

A. Teori
Makna
Sebelum berbicara
tentang ragam makna, ada baiknya kita kaji terlebih dahulu beberapa teori makna
yang mencakup teori referensial, teori ideasional, dan teori tingkah laku.
1.
Teori Referensial
Dalam pandangan teori referensial,
arti suatu kata atau ungkapan dalam bahasa dapat diidentifikasi dengan melihat
apa yang diacunya atau hubungan antara kata atau ungkapan itu dengan apa yang
diacunya (Alston, 1964:12) Hal ini
terutama berkaitan dengan nama diri atau nama suatu objek. Seekor kucing yang warna kulitnya terdiri
atas tiga warna, dalam bahasa Jawa sering disebut Si Telon atau karena tingkah laku kucing itu menggemaskan dan lucu
diberi nama Si Manis. Seseorang yang kebetulan mempunyai cacat fisik
sehingga jalannya pincang dijuluki Si
Pincang.
Lebih lanjut Alston menyatakan bahwa
sesuatu yang diacu tidak harus sesuatu yang konkret atau sesuatu yang dapat
diamati. Acuan tersebut dapat berupa jenis sesuatu, kualitas sesuatu, bentuk
sesuatu, suatu hubungan, dan lain
sebagainya. Misalnya pada contoh-contoh
berikut.
(1) Pemimpin itu sangat bijaksana.
(2) Banjir dengan ketinggian 4 meter
melumpuhkan kota Jakarta.
(3) Foto model terkenal itu adik teman saya.
Pada
kalimat (1), kata bijaksana merupakan suatu kualitas. Pada kalimat (2), banjir
dengan ketinggian 4 meter merupakan suatu bentuk peristiwa, sedangkan pada
kalimat (3), kata adik mengacu pada hubungan keluarga.
Dalam
pengertian yang lebih khusus, Aminuddin (2003:55) menyatakan bahwa dalam teori
referensial makna diartikan sebagai label yang berada dalam kesadaran manusia
untuk menunjuk dunia luar. Sebagai label atau julukan, makna hadir karena
adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan simpulan yang
keseluruhannya berlangsung sangat subjektif.
Misalnya kata pohon bagi
Goenawan Mohamad mempunyai makna tersendiri. Kata itu tidak hanya merujuk pada jenis
tumbuh-tumbuhan, tetapi memperoleh julukan sebagai ‘ciptaan’, ‘hidup’, ‘fana’
sehingga dalam baris puisinya dinyatakan …. Pohon
berbagi dingin di luar jendela, mengekalkan yang esok mungkin tak ada.
Sementara
bagi orang lain pada masa orde baru, kata pohon
(beringin) misalnya, dapat dimaknai sebagai ‘persatuan’ maupun ‘kehidupan
bermasyarakat’. Referensi yang bersifat
khusus semacam ini menyebabkan
keberadaan makna sangat ditentukan oleh adanya nilai, motivasi, sikap,
pandangan, maupun minat secara individual (Aminuddin, 2003:56).
Pandangan
bahwa makna itu merujuk pada sesuatu yang diacunya dianggap sebagai versi awal
teori referensi. Dalam perkembangannya, teori ini menyatakan bahwa makna suatu
kata atau ungkapan dapat dikenali dengan mengidentifikasi hubungan antara kata
atau ungkapan itu dengan sesuatu yang diacunya. Baik versi pertama maupun versi
yang kedua dianggap mempunyai kelemahan.
Altons (1964:13) menyatakan kelemahan teori
referensial adalah sebagai berikut. Pertama, teori referensial dianggap tidak
memadai dan akurat karena ada dua buah ungkapan yang mengandung arti berbeda
padahal mempunyai acuan yang sama.
Sebagai contoh, ujaran “Bapak Susilo Bambang Yudoyono” dan “presiden RI
sekarang”. Kedua ujaran ini mengacu pada referen yang sama, tetapi makna ujaran
“Bapak Susilo Bambang Yudoyono” berbeda
artinya dengan “presiden RI sekarang”. Berkaitan dengan konteks semacam ini,
Altons menjelaskan, “Jika dua ungkapan itu dikatakan mengandung arti yang sama,
maka identitas pernyataan dengan istilah-istilah (terms) sebagai komponennya haruslah benar semata-mata atas dasar
arti dari kedua ungkapan tersebut.
Misalnya pada ujaran, “satu-satunya paman saya” dan “satu-satunya
saudara laki-laki atau ibu saya”. Kedua ujaran tersebut mempunyai acuan yang
sama dan sekaligus mempunyai makna yang sama.
Kelemahan
yang kedua berhubungan dengan adanya kata atau ungkapan yang artinya sama
tetapi acuannya berbeda. Misalnya pada
kata-kata yang bersifat deiksis. Kata-kata seperti saya, anda, di sini, ini, itu, dan sejenisnya memiliki arti sama
tetapi acuannya berpindah-pindah sesuai dengan konteksnya.
2.
Teori Ideasional
Teori ideasi merupakan teori yang mengenali arti suatu
kata atau ungkapan dengan gagasan-gagasan (idea-idea) yang berhubungan dengan
ungkapan tersebut (Altons, 1964:16).
Dalam menelusuri makna, teori ini menghubungkan makna suatu kata atau
ungkapan dengan suatu ide atau representasi psikis yang ditimbulkan oleh kata
atau ungkapan tersebut kepada kesadaran. Dengan kata lain, teori ideasional
mengidentifikasikan arti ekspresi dengan gagasan-gagasan yang menimbulkan atau
juga ditimbulkan oleh ekspresi itu.
Pada dasarnya, teori ideasional memandang bahasa sebagai
alat /instrumen untuk mengomunikasikan pikiran
atau gagasan atau sebagai suatu gambaran eksternal dari suatu keadaan yang
bersifat internal. Dalam konteks ini,
suatu kata atau ujaran merupakan sebuah gambaran terhadap apa yang dipikirkan
oleh manusia. Yang memberi arti suatu kata atau ungkapan adalah kenyataan bahwa
ungkapan terebut digunakan secara teratur dalam komunikasi sebagai tanda dari
suatu gagasan yang pasti (Mustansyir, 1988:110). Dengan demikian, makna suatu ujaran dalam
bahasa sangat ditentukan oleh gagasan atau pikiran yang ada dalam diri manusia.
Ungkapan-ungkapan tersebut baru mempunyai makna apabila berfungsi sebagai
‘pengemban tugas’ dari gagasan manusia. Ungkapan tersebut mempunyai makna
karena ia mewakili gagasan-gagasan yang perlu diungkapkan dalam rangka
komunikais antarmanusia.
Lebih lanjut, Mustansyir (1988:111) mengemukakan bahwa
menurut teori ini, apabila suatu kata atau ungkapan digunakan ada beberapa hal
yang harus dipenuhi. (1) gagasan atau ide itu harus hadir dalam di dalam
pikiran si penutur, (2) si penutur harus mengutarakan ungkapan itu sehingga
penanggap tuturnya mengetahui bahwa gagasan atau ide itu ada dalam pikiran si
pembicara saat itu, dan (3) jika komunikasi itu berhasil, maka ujaran itu harus
membangkitkan gagasan atau ide yang sama dalam diri pendengarnya.
Kelemahan dari teori ideasional adalah tidak dapat
dipastikan bahwa setiap gagasan yang dilontarkan akan menimbulkan gambaran akan
gagasan atau ide yang sama dalam pikiran pendengar. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya salah
persepsi (misunderstanding) dalam
suatu komunikasi verbal. Fenomena ini
dapat disimak pada contoh kalimat berikut.
(4)
Pukul 14.00 kemarin, Shelly mati.
Kalau disimak kalimat (4)
tersebut tentu akan sangat sulit memahami
Shelly itu apa. Apakah Shelly itu
nama seekor binatang atau nama seseorang.
Apalagi jika kata Shelly tersebut mempunyai banyak rujukan akan semakin
banyak menyebabkan salah pengertian antara penutur dengan penanggap tuturnya
dalam memahami ujaran karena gambaran ide yang berbeda. Demikian juga misalnya ketika seseorang
mengatakan kalimat berikut.
(5) Tommy telah lepas kemarin siang.
Jika tidak memahami konteks
yang sebenarnya, orang akan mengira bahwa yang dimaksud dengan Tommy di
sini merujuk pada putra kesayangan
mantan presiden Soeharto karena dalam ideasi orang pada umumnya demikian.
Tetapi ternyata dalam kalimat tersebut yang dimaksud bukan itu. Yang lepas pada
kemarin siang tersebut adalah seekor burung kesayangan seseorang yang oleh
pemiliknya tersebut diberi nama Tommy.
3.
Teori Tingkah Laku
Teori tingkah laku berakar
dari pandangan kaum behavioristik yang menekankan pada hubungan antara stimulus
dengan respon. Dalam pandangan teori tingkah laku, makna suatu kata atau
ungkapan dapat dikenali atau diidentifikasi dari
rangsangan-rangsangan/stimuli-stimuli yang menyebabkan timbulnya ujaran dan
atau tanggapan/respon yang ditimbulkan oleh ucapan tersebut (Alston, 1964:25). Sebagai contoh ketika seorang guru
mengatakan kepada muridnya, “Tidak ada
penghapus ya!”. Ujaran tersebut
tidak saja bermakna bahwa guru itu tidak menemukan ada penghapus di dalam
kelas, tetapi juga secara tidak langsung bermakna memerintah siswa untuk
membersihkan papan tulis. Dalam teori fungsi yang dikemukakan oleh Halliday,
ini disebut sebagai fungsi direktif.
Teori tingkah laku memiliki kemiripan
dengan teori ideasi. Kemiripan yang pertama,
teori tingkah laku ini juga memusatkan perhatian pada sesuatu yang
terlibat dalam penggunaan bahasa dalam komunikasi. Kedua, teori tingkah laku juga mengandaikan
adanya situasi dan tanggapan tertentu yang umum sifatnya dan selalu sama ketika
kata atau ungkapan itu dikatakan mempunyai arti sama. Sedangkan perbedaannya,
teori tingkah laku lebih memfokuskan perhatiannya pada aspek-aspek yang dapat
diamati dalam suatu komunikasi (Judowibowo dalam Mustansyir, 1988:114).
Lebih lanjut Alston (1964:26)
mengemukakan asumsi yang mendasari teori tingkah laku dalam pemakaian bahasa.
Asumsi pertama, harus ada bentuk-bentuk yang umum dan khas pada semua situasi
sehingga pada saat suatu ungkapan diujarkan, maka ujaran tersebut akan
memberikan suatu pengertian. Misalnya ketika seseorang mengatakan, “Manusia itu adalah makhluk yang berakal.”
Ujaran itu akan berlaku baik dalam situasi umum maupun khusus. Karena dalam
situasi apapun makna ujaran tersebut tetap berlaku.
Kedua, harus ada bentuk-bentuk
yang umum dan khas pada semua tanggapan yang ditimbulkan oleh pengucapan
ungkapan yang dikemukakan tersebut.
Misalnya ketika seorang bapak memarahi anaknya yang pulang larut malam
dengan kalimat, “Baru jam berapa ini, kok
sudah pulang?” Respon umum yang
diharapkan tentu si anak akan menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi
perbuatannya. Ini sebagai suatu respon yang positif. Tetapi bisa juga respon
yang muncul justru respon yang negatif, respon yang sama sekali tidak dikehendaki
oleh bapak tadi. Misalnya si anak menjawab dengan ketus, “Alah, ini juga belum pagi.” Atau si anak malah keluar lagi dan
tidak pulang sampai pagi. Hal ini menunjukkan bahwa suatu ujaran tertentu pada
situasi tertentu memilik makna tertentu yang akan menimbulkan tanggapan atau
respon tertentu pula. Inilah yang
menjadi pemahaman terhadap makna suatu ujaran menjadi rumit.
B. Macam-Macam Makna
Berkaitan dengan ragam
makna dalam subbab ini akan dibahas
makna leksikal dan makna gramatikal,
makna denotatif dan makna konotatif, makna referensial dan makna
nonreferensial, serta makna konseptual dan makna asosiatif.
1. Makna leksikal dan makna gramatikal
Leksikal
merupakan bentuk ajektif dari kata leksikon, yaitu kosakata atau perbendaharaan
kata dalam suatu bahasa. Satuan
dari leksikon adalah leksem, satuan bentuk bahasa yang bermakna. Makna leksikal adalah makna yang sesuai
dengan leksikalnya. Dengan demikian makna leksikal sesuai dengan referennya,
makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang
sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Misalnya makna kata belut pada kalimat Belut itu hidup di dalam lumpur dan sangat licin. Dalam kalimat
tersebut kata belut merujuk pada ikan yang bentuknya panjang mirip ular dan
kulitnya sangat licin. Contoh lain misalnya kata tikus pada
kalimat Panen padi gagal karena serangan
tikus. Kata tikus pada kalimat
tersebut merujuk pada binatang. Demikian
pula dengan kalimat Anak itu sedang sakit kepala. Kata kepala merujuk pada anggota
badan. Kata belut, tikus, dan kepala
pada kalimat di atas tidak lagi bermakna leksikal jika berada dalam konteks
kalimat berikut.
-
Orang
itu benar-benar belut.
-
Sekarang
ini tikus-tikus kantor semakin merajalela.
-
Karena
korupsi, kepala kantor perpajakan itu dipenjara.
Makna gramatikal adalah
makna yang hadir akibat proses gramatikal; afiksasi (pemberian imbuhan),
reduplikasi (pengulangan), dan komposisi (pemajemukan). Misalnya arti ber- pada bersekolah mempunyai arti
gramatikal yang berbeda dengan ber-
pada berpakaian dan beranak.
Kata barat mempunyai arti yang
berbeda setelah mengalami pengulangan yang berkombinasi dengan afiks pada kata kebarat-baratan. Demikian pula kata rumah dan sakit ketika
bergabung menjadi bentukan baru rumah
sakit; kata tangan dan kanan menjadi tangan kanan. Kata-kata tersebut berubah
maknanya karena mengalami proses gramatikal.
2. Makna denotatif dan makna konotatif
Makna denotatif dan makna
konotatif dibedakan berdasarkan ada tidaknya nilai rasa dalam sebauh kata.
Makna denotatif merupakan makna yang sesuai dengan referensinya sehingga sering
disebut juga sebagai makna referensial.
Makna denotatif merupakan makna yang berkaitan dengan fakta-fakta
objektif suatu kata. Misalnya kata perempuan dan wanita secara denotatif memiliki makna sama yaitu
‘manusia dewasa yang bukan laki-laki’. Demikian pula dengan kata istri dan bini
atau suami dan laki. Kata istri dan bini mempunyai arti ‘wanita yang mempunyai
suami’ dan kata suami dan laki mempunyai arti ‘laki-laki yang mempunyai istri’.
Kedua pasangan tersebut mempunyai makna denotatif sama.
Sedangkan makna
konotatif adalah makna yang berhubungan
dengan nilai rasa. Misalnya: gadis – cewek; wanita-perempuan; suami-laki;
putra-anak; pria - laki-laki. Kata-kata yang berada pada urutan awal pada umumnya
dianggap mempunyai konotasi positif, sedangkan kata pada urutan kedua dianggap
mempunyai konotasi negatif. Makna
konotasi tersebut tidak hanya pada kata benda saja, pada kata kerja pun juga
dapat ditemukan nilai rasa tersebut. Misalnya pada kata meninjau- mengintip.
Kedua kata tersebut sebenarnya mempunyai makna dasar yang sama yaitu melihat,
tetapi kata memantau memiliki konotasi positif sedangkan mengintip memiliki
konotasi negatif.
3. Makna referensial dan makna
nonreferensial
Makna
referensial dan nonreferensial dibedakan
atas ada tidaknya referen kata tersebut. Bila kata-kata tersebut mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang dirujuk atau diacu oleh
kata itu, maka kata itu disebut sebagai kata bermakna referensial. Sebaliknya
jika tidak mempunyai rujukan disebut sebagai kata bermakna nonreferensial. Misalnya kata
anak dalam kalimat Anak itu sedang menangis. Kata anak dan
menangis memiliki makna referensial. Demikian juga dengan kata ganti pada
kalimat berikut. Dia sedang berduka
dan Di sini tidak dijual barang bajakan.
Kata dia dan di sini mempunyai makna referensial. Kata yang bermakna
nonreferensial biasanya berupa kata tugas: preposisi dan konjungsi. Misalnya di, ke dari, pada, ketika, sementara, dan lain-lain.
4. Makna
konseptual dan makna asosiatif
Makna
konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan
referennya. Makna konseptual terbebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang
dihubungkan dengan sesuatu di luar bahasa. Misalnya dikaitkan dengan budaya
atau konvensi-konvensi yang disepakati oleh masyarakat. Kata melati
misalnya memiliki makna konseptual ‘bunga berwarna putih dengan bau yang
harum’ tetapi kata melati memiliki hubungan dengan makna ‘kesucian’, ‘kematian’. Kata merah, mempunyai makna konseptual
‘warna’ tetapi secara asosiatif dapat berarti ‘komunis’, ‘PDI’, ‘berani’,
‘spirit’. Hal ini sangat bergantung pada konteks tuturan dan konteks budayanya.
C. Relasi Makna
Relasi makna merupakan hubungan makna antara satu kata dengan kata
lain dalam bahasa atau antara satuan gramatik yang satu dengan satuan gramatik
yang lain. Relasi makna ini meliputi (1) sinonimi, (2) antonimi, (3) homonimi,
(5) hiponimi, dan (6) polisemi, Masing-masing akan dipaparkan sebagai berikut.
1. Sinonimi
Dilihat dari asal-usul katanya, sinonimi berasal dari bahasa Yunani
kuno yaitu onama yang berarti ’nama’ dan syn yang berarti ’dengan
(Chaer, 2002:82). Sinonimi berarti ’nama lain untuk benda atau hal yang sama’.
Menurut Verhaar (1978), sinonimi adalah ungkapan yang maknanya kurang lebih
sama dengan makna ungkapan lain. Misalnya kata bunga dengan kembang dan puspa;
buruk dengan jelek; baik dengan bagus; mati, meninggal, wafat, gugur, mampus;
melihat, menatap, melirik, mengerlig, memandang, memantau, meninjau; aku dengan saya, dan masih banyak lagi contoh
sinonimi yang lain. Sinonimi ada yang bersifat dua arah (mutlak), tetapi ada
juga yang tidak bersifat mutlak. Kata
buruk dengan kata jelek dapat dikatakan sinonimi dua arah, tetapi mati,
meninggal, wafat, gugur, tewas, dan mampus tidak bersifat mutlak. Artinya antara satu bentuk dengan bentuk
sinonimnya tidak selalu dapat menggantikan sepenuhnya.
Ketidakmungkinan menggantikan sebuah kata dengan
sinonimnya, menurut Chaer (2002) disebabkan oleh berbagai faktor berikut. (1)
faktor waktu, misalnya antara hulubalang dengan komandan; (2) faktor tempat
atau daeah, misalnya kata aku, gue, beta; (3) faktor sosial, misalnya antara
aku dengan saya, minta dengan mohon, (4) faktor bidang kegiatan, misalnya
tasawuf, kebatinan, mistik; (5) faktor nuansa makna, misalnya penginapan,
hotel, losmen, motel; bini, istri, teman hidup, mantan pacar.
2. Antonimi
Antonimi juga berasal dari bahasa Yunani Kuno,
yaitu onama yang berarti ’nama’ dan anti yang berarti
’melawan’. Secara semantis, antonimi merupakan ungkapan yang maknanya dianggap
kebalikan dari makna ungkapan yang lain (Verhaar, 1978). Misalnya buruk-bagus, menjual-membeli,
hidup-mati. Antonimi sering kali disebut sebagai oposisi makna. Oposisi makna
dibedakan atas:
a. Oposisi mutlak, yaitu pertentangan makna
secara mutlak. Misalnya
hidup-mati; diam-bergerak.
b. Oposisi kutub, yaitu pertentangan yang
memiliki tingkatan atau gradasi. Misalnya kaya-miskin, pintar-bodoh,
jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, luas-sempit, dan lain
sebagainya.
c. Oposisi hubungan, yaitu relasi makna yang
saling melengkapi. Kata yang
satu muncul karena kehadiran kata lain yang menjadi oposisinya. Misalnya
pria-wanita, menjual-membeli, suami-istri, maju-mundur, pulang-pergi, ayah-ibu,
guru-murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan.
d. Oposisi hierarkial, yaitu relasi yang
menunjukkan suatu deret jenjang atau tingkatan. Misalnya meter dengan
kilometer, kilogram dengan kuintal dan ton.
e. Oposisi majemuk, yaitu kata yang
beroposisi dengan lebih dari satu kata. Misalnya berdiri dengan kata duduk,
berbaring, tidur, jongkok, tiarap; kata diam dengan bergerak, berbicara,
bekerja.
3. Homonimi, Homofoni, Homografi
Homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno onama
yang berarti ’nama’ dan homo yang berarti ’sama’. Homonimi diartikan sebagai
nama sama untuk benda atau hal lain, sedangkan secara semantis diartikan
sebagai kata atau ungkapan yang bentuknya sama dengan kata atau ungkapan lain
tetapi maknanya berbeda. Homonimi dibedakan
atas (1) homofoni, yaitu ungkapan yang memiliki lafal atau ucapan sama tetapi
berbeda tulisan. Misalnya kata bang
yang berarti ’kakak’ dengan bank yang
berarti ’tempat menyimpan atau bertransaksi uang’, kata sangsi yang berarti ’ragu-ragu’ dengan sanksi yang berarti ’hukuman’; (2) homografi, yaitu ungkapan yang
tulisannya sama tetapi berbeda lafalnya. Misalnya kata teras yang dilafalkan /t|ras/ yang berarti ’bagian dalam kayu’ dan
/teras/ yang berarti ’bagian depan rumah’ atau ’bagian tanah datar yang
miring’; (3) homofoni-homografi, yaitu ungkapan yang baik tulisan maupun
lafalnya sama. Misalnya kata bisa
yang berarti ’racun’ dan yang berarti ’dapat’, kata buku yang berarti ’ruas’ dan ’kitab’.
4. Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu onama,
artinya ’nama’ dan hypo yang berarti ’di bawah’. Hiponimi dapat diartikan sebagai
’nama yang termasuk di bawah nama lain’.
Secara semantis, hiponimi adalah kata atau ungkapan yang maknanya
merupakan bagian dari makna suatu ungkapan yang lain. Misalnya kata ikan
sebagai hipernim, kata yang membawahi kata-kata lain, berhiponim dengan
tongkol, bandeng, tenggiri, tuna, teri, mujair, cakalang, kerapu, kakak. Antara
tongkol dengan bandeng disebut sebagai kohiponim.
5. Polisemi
Polisemi diartikan sebagai satuan gramatik yang
memiliki makna lebih dari satu. Misalnya kata kepala mempunyai arti (1) bagian tubuh dari leher ke atas, (2)
bagian dari sesuatu yang terletak di atas atau depan yang merupkan bagian yang
penting atau utama, (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti
kepala, (4) pemimpin atau ketua, (5) jiwa atau orang, dan (6) akal budi.
D. Perubahan Makna
Bahasa bersifat dinamis. Salah satu wujud
kedinamisan bahasa adalah adanya perubahan yang terjadi pada makna suatu kata. Misalnya kata saudara,
ibu, bapak, sarjana, berlayar, dan lain-lain. Kata-kata itu mengalami
perubahan arti. Perubahan makna yang terdapat dalam suatu kata dapat disebabkan
oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut yaitu (1) perkembangan ilmu dan
teknologi, misalnya pada kata berlayar,
kereta api; (2) perkembangan sosial budaya, misalnya kata bapak, ibu, saudara; (3) perbedaan
bidang pemakaian, misalnya kata menggarap,
bajakan, menggembleng, asimilasi; (4) asosiasi, misalnya pada kata amplop, kursi, catut; (5) pertukaran
tanggapan indera, misalnya pada kata pedas,
hambar, enak, sedap, manis, pahit, berat; (6) perbedaan tanggapan, misalnya
pada kata wanita-perempuan, bini-istri,
laki-suami; (7) proses gramatikal, misalnya proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi;
(8) pengembangan istilah, misalnya papan,
sandang, teras, paket, galak, tayang.
Coba diskusikan dengan teman-teman Saudara mengapa kata-kata tersebut
mengalami perubahan makna atau mengapa suatu proses itu menyebabkan terjadinya
perubahan makna!
Perubahan yang terjadi karena faktor-faktor yang
telah disebutkan di atas mencakup berbagai jenis perubahan berikut.
1. Perluasan makna
Perluasan makna merupakan gejala pada suatu kata
atau leksem yang semula hanya mempunyai sebuah makna kemudian karena berbagai
faktor memiliki makna-makna yang lain.
Misalnya pada kata saudara
yang semula berarti ’seperut’ atau ’sekandung’
kemudian mengalami perluasan arti untuk menyebut ’siapa saja’. Perluasan
makna tersebut juga terjadi pada kata bapak,
ibu, kakak, adik. Kata lain yang juga mengalami perluasan makna misalnya mencetak dan baju. Kata mencetak yang
semula digunakan pada bidang percetakan meluas penggunaannya padada bidang-bidang yang lain. Misalnya pada bidang olahraga, pendidikan;
kata baju yang semula berarti ’pakaian atas’ sekarang sudah meluas menjadi
pakaian secara lengkap atas dan bawah. Misalnya pada istilah baju dinas, baju
olahraga.
2. Penyempitan makna
Penyempitan arti merupakan gejala yang terjadi
pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian
berubah menjadi lebih terbatas. Misalnya
kata sarjana yang berasal dari
bahasa sanskerta sajjana yang berarti
’orang pandai’ atau ’cendikiawan’ sekarang maknanya menyempit menjadi ’orang
yang lulus perguruan tinggi’.
Penyempitan arti juga terjadi pada kata ahli yang semula berarti ’orang
yang masuk dalam suatu golongan’ sekarang berubah menjadi ’pakar’ atau ’orang
yang ahli pada suatu bidang ilmu’.
3. Perubahan total
Perubahan total merupakan berubahnya secara
menyeluruh makna sebuah kata dari makna asalnya sehingga makna yang baru sama
sekali berbeda dengan makna asalnya. Misalnya kata ceramah yang semula berarti ’cerewet’ atau ’banyak cakap’ sekarang
berarti ’pidato atau uraian mengenai suatu hal yang disampaikan di depan orang
banyak’. Kata seni yang semula
berarti ’kencing atau air kencing’
sekarang digunakan sebagai padanan dari kata art, yang berarti karya
atau ciptaan yang memiliki nilai estetis tinggi. Kata pena yang dalam bahasa
Sanskerta berarti ’bulu’ sekarang diartikan sebagai ’alat tulis yang
menggunakan tinta’.
4. Penghalusan (Eufimia)
Eufimia merupakan suatu upaya menampilkan
kata-kata yang dianggap memiliki makna yang lebih halus atau lebih sopan
daripada kata yang digantikan. Misalnya kata penjara atau bui
digantikan dengan kata Lapas
(Lembaga Pemasayarakatan); kata korupsi
diganti dengan menyalahgunakan jabatan;
hutang atau pinjaman digantikan dengan kata bantuan; ditangkap
diganti diamankan; kata babu diganti pembantu rumah tangga dan pramuwisma;
kata dipecat diganti dengan pemutusan hubungan kerja (di-PHK); kenaikan harga diganti dengan perubahan harga, penyesuaian tarif, atau pemberlakuan tarif baru.
5. Pengasaran (disfemia)
Disfemia merupakan upaya menggantikan kata yang
maknanya halus atau bermakna biasa dengan makna yang lebih kasar. Misalnya kata kalah digantikan masuk kotak;
mengambil dengan seenaknya diganti mencaplok; mengeluarkan diganti dengan mendepak;
kata meraih diganti dengan menggondol atau mencuri.

Makna merupakan arti yang terdapat dalam suatu
kata atau ungkapan. Terdapat berbagai
teori yang menjelaskan makna, yaitu teori referensial, ideasional, dan tingkah
laku. Ragam makna mencakup makna
leksikal dan makna gramatikal, makna
denotatif dan makna konotatif, makna referensial dan makna nonreferensial,
serta makna konseptual dan makna asosiatif. Relasi makna merupakan hubungan
makna antara satu kata dengan kata lain dalam bahasa atau antara satuan
gramatik yang satu dengan satuan gramatik yang lain. Relasi makna ini meliputi
(1) sinonimi, (2) antonimi, (3) homonimi, (5) hiponimi, dan (6) polisemi. Makna
yang terkandung dalam kata atau ungkapan mengalami suatu perubahan, perubahan
tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Perubahan makna meliputi perluasaan
makna, penyempitan makna, perubahan
total, eufimia, dan disfemia.

1. Jelaskan perbedaan pandangan teori
referensial, ideasional, dan tingkah laku dalam melihat makna kata!
2. Berikan contoh masing-masing 3 buah kata atau
ungkapan yang mengalami perluasan arti, penyempitan arti, dan perubahan total!
3. Jelaskan dengan contoh
faktor-faktor yang menyebabkan perubahan makna dalam suatu bahasa!
4. Bacalah dengan cermat puisi di bawah ini,
kemudian identifikasi kata yang bermakna denotatif, konotatif, asosiatif dan
relasi apa saja yang Saudara temukan dalam puisi tersebut!
DIALOG BUKIT KEMBOJA
Karya D. Zawawi Imron
(1) Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah
di
bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah
(2) Seorang
nenek, pandangnya tua memuat jarum cemburu
menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu
(3) “aku anak almarhum,” jawabku dengan
suara gelas jatuh
Pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu
(4) “Lewat berpuluh kemarau
telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku”
(5) Hening merangkak lambat bagai langkah
siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
seperti puisi mekar pada lembar bunga basah
(6) “Anakku mati di medan laga, dahulu
saat Bung Tomo mengipas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”
(7) Jauh di lembah membias rasa syukur
pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur
(8) “Aku telah lelah mencari kuburnya dari
sana ke mana
Tak kutemu. Tak ada yang tahu
Sedangkan aku ingin ziarah, menyampaikan terima kasih
atas gugurnya: Mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”
(9) “Tapi ayahku sepi pahlawan
Tutur orang terdekat, saat ia wafat
jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi dia bukan anakmu”
(10) “Apa salahnya kalau sesekali
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku kepada musuh jadi luruh’
(11) Sore berangkat ke dalam
remang
ke kelepak kelelawar
(12) “Hormatku padamu nenek! Karena engkau
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”
(13) “Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku
cuma minta:
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu!”
(14) Kelam mendesak kami berpisah. Di hati
tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu
1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar