BAB VII
SEJARAH PERKEMBANGAN,
KEDUDUKAN DAN FUNGSI
BAHASA INDONESIA

7.1 Tujuan
Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat:
1. menjelaskan sejarah perkembangan
bahasa Indonesia.
2. menjelaskan kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia
3. mengidentifikasi upaya menjaga martabat bahasa Indonesia
7.2 Materi
A. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
Kita semua tahu bahwa bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Melayu. Setelah
peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, nama Indonesia resmi digunakan. Pengubahan nama tersebut dilakukan karena
bahasa Melayu (BM), dengan label Melayu tersebut menonjolkan salah satu etnis,
sedangkan pada saat perjuangan untuk mencapai kemerdekaan segala usaha diadakan
untuk mencapai suatu persatuan. Pada waktu itu persatuan bangsa perlu digalang
karena hanya dengan persatuan bangsa kita mempunyai kekuatan untuk mengusir penjajah
Belanda (Badudu, 1995:28).
Pengangkatan BM menjadi bahasa Indonesia
bukannya tanpa tantangan. Pada waktu itu terjadi pertarungan dua politik bahasa. Ketika para nasionalis
berhasil menjadikan BM menjadi bahasa persatuan untuk bangsa kita, kaum
penjajah beserta para pendukungnya di kalangan bumi putera terus-menerus
melontarkan gagasan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang tidak mempunyai
otoritas. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang “kacau” (Pabottinggi, 1996:214).
Menanggapi tuduhan tersebut Sutan Takdir
Alisjahbana menulis bahwa jika benar bahasa Indonesia kacau, hal itu adalah
“kekacauan yang nikmat.” Pernyataan
tersebut mengacu pada kenyataan bahwa yang bekerja dalam perkembangan bahasa
Indonesia yang tampaknya liar tidak lain adalah suatu kekuatan kreatif, suatu
proses transformasi, yaitu kekacauan dalam proses menjadi. Tanggapan Takdir
tersebut mewakili rasa percaya diri yang kuat di kalangan para pemuda pelopor
kebangkitan nasional kita pada masa itu.
Menurut Pabottinggi (1996), setidak-tidaknya ada
enam alasan yang memungkinkan kuatnya rasa percaya diri para pemuda dan yang
kemudian menopang bahasa Indonesia. Pertama, adanya kenyataan yang tidak bisa
dibantah bahwa BM adalah lingua franca
yang hidup dan telah ratusan tahun menjembatani pergaulan dan perdagangan
antarasuku bukan hanya di Nusantara, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara
Maritim. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa prasasti berikut.
- Prasasti Kedukan Bukit di Palembang (683)
- Prasasti Talang Tuo di Palembang (684)
- Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat (686)
- Prasasti Gandasuli di Bogor (832)
Kedua, penobatan BM menjadi
bahasa Indonesia ditopang oleh semangat yang kuat. Bahkan dapat dikatakan terdapat hubungan simbiosis
antara bahasa Indonesia dengan paham kebangsaan kita. Kesamaan lingua franca antarasuku, yang kemudian
menjadi kesamaan bahasa intrabangsa ikut membidani lahirnya nasionalisme kita,
dan sebaliknya, nasionalisme kita memperkuat posisi lingua franca.
Ketiga, ekslusivisme kebudayaan Belanda
seperti tecermin dalam politik bahasa mereka membuat mayoritas bangsa Indonesia
terpaksa harus bereksperimen dengan bahasa dan/atau kebudayaan sendiri.
Keempat, dari kalangan cerdik pandai kita
terdapat tokoh-tokoh serta pejuang-pejuang yang sepenuh hati mengerahkan tenaga
dan perhatian dalam rangka pembinaan bahasa nasional kita.
Kelima, sifat BM lingua franca itu sendiri sangat istimewa dalam hal watak
demokratis dan kelenturan berlaku dalam berbagai kalangan. BM mempunyai
kemampuan menembus berbagai kalangan serta lapisan masyarakat tanpa merusak
watak dasarnya sendiri.
Keenam, kenyataan bahwa dengan memakai
bahasa yang berakar dari bumi dan kultur sendiri, kita tidak perlu terjebak
dalam bahasa Belanda beserta segenap sistem nilai dan pandangan dunia para
pendukung utamanya. Kita tidak perlu
mengalami Uubervremdung, yaitu
alienasi dari kosmologi kita sendiri akibat keterpenjaraan pada kosmologi
bahasa dan bangsa Belanda. Keadaan
seperti ini banyak dialami oleh kaum cendikiawan India dan Afrika yang alam
pikirannya sudah terpenjara dalam bahasa Inggris dan Perancis.
Apa yang dikemukakan oleh Pabottinggi
dengan menyitir pendapat Takdir di atas, sejalan dengan pikiran Slametmuljana
tentang beberapa faktor yang menjadi alasan pemilihan BM menjadi bahasa
Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah faktor historis, kemudahan bahasa,
psikologis, dan faktor kesanggupan bahasa (Slametmuljana dalam Wiyanto,
1987:12-13).
Faktor historis berkaitan dengan adanya
realitas historis BM sebagai lingua
franca. Faktor kemudahan yang berkaitan dengan BM mencakup (1) kemudahan
dalam melafalkan fonem-fonem bahasa, (2) BM berstruktur sederhana, dan (3) BM tidak tidak mengenal perbedaan bentuk
yang disebabkan oleh perbedaan strata sosial pemakai (tingkat tutur kultural),
seperti undha usuk dalam budaya Jawa.
Faktor psikologis berkaitan dengan adanya keinginan untuk segera menciptakan
persatuan di antara berbagai etnis sehingga perjuangan untuk mencapai cita-cita
dapat segera dilanjutkan (Badudu, 1995:28).
Sedangkan faktor kesanggupan
berhubungan dengan kesanggupan bahasa tersebut menjadi sarana untuk
mewadahi dan mengungkapkan kebudayaan nasional (Wiyanto, 1987:13).
Dari uraian di atas dapat kita ketahui
bahwa bahasa Indonesia pada awal pertumbuhannya merupakan suatu kebanggaan bagi
bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia dapat menjadi wahana pemersatu etnis di
Nusantara dalam rangka menggalang kekuatan untuk mengusir penjajah.
Bahasa mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan nasionalisme. Bahasa bersama-sama dengan kebudayaan, agama, dan sejarah
dianggap sebagai unsur nasionalisme
(Fishman dalam Siregar, 1995:4). Dalam nasionalisme, bahasa berperan
sebagai pengenal diri, pembeda, dan pemersatu. Konsep ini merujuk kepada
perasaan dari masyarakat suatu bangsa bahwa mereka bersatu dan merasa sama
dengan yang lainnya karena berbahasa sama, serta berbeda dengan lainnya karena
berbahasa yang berbeda. Nasionalisme berkembang dari nasionalitas, yaitu
kesadaran sekelompok masyarakat yang menganggap dirinya sebagai suatu unit
sosiokultural yang berbeda dengan kelompok lain yang berkembang melampaui
konsep lokal dan ikatan kesatuan daerah.
Pendapat ini sejalan dengan pandangan Bell (1995:259) yang menyatakan
bahwa nasionalisme merupakan keinginan sebuah bangsa “baru” untuk mencari
identitas sendiri dalam mengatasi loyalitas lokal, kesukuan, agama, atau
loyalitas lain yang berbenturan dengan loyalitas terhadap negara.
Berkaitan dengan proses sosiokultural bahasa terdapat dua proses
yang berbeda tetapi saling terkait satu dengan yang lain, yaitu proses
nasionalisme bahasa dan proses nasionisme bahasa. Proses nasionalisme bahasa
merupakan proses pertumbuhan kesadaran akan kebangsaan, yang salah satu
perwujudannya tergambar melalui pengidentifikasian kebangsaan tersebut dengan
bahasa. Sedangkan proses nasionisme bahasa adalah proses pemilihan dan
pembakuan bahasa sebagai alat administrasi pemerintahan negara (Siregar, 1995:5).
Perubahan BM menjadi bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai bahasa
nasional berdasarkan kesepakatan hasil Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak
dapat dilepaskan dari aspek historis pertumbuhan nasionalisme Indonesia.
Seperti telah dikemukakan oleh Pabottinggi di atas, antara bahasa Indonesia
dengan nasionalisme Indonesia
mempunyai hubungan simbiosis yang saling menguntungkan. Penggunaan bahasa Indonesia mendorong lahirnya nasionalisme Indonesia, dan kelahiran nasionalisme Indonesia
semakin memperkuat kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Menurut Siregar (1995:7), bahasa Indonesia dalam nasionalisme Indonesia
berperan sebagai pembeda kelompok, sebagai pemersatu, dan sebagai ikatan
emosional dengan sejarah. Peran bahasa Indonesia
tersebut dapat kita simak dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Misalnya Budi Utomo yang didirikan oleh bangsawan
Jawa, tidak menggunakan bahasa Jawa untuk alat komunikasi antaranggota. Mereka
memilih menggunakan bahasa Indonesia untuk menghilangkan hambatan kultural
antaranggotanya. Demikian juga Ki Hadjar Dewantoro dengan Pendidikan Taman
Siswanya. Fakta-fakta sejarah tersebut membuktikan bagaimana keterkaitan bahasa
Indonesia dengan nasionalisme Indonesia.
B. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Pembahasan tentang kedudukan dan
fungsi bahasa Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan bahasa daerah dan bahasa
asing. Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa
negara. Menurut Amran Halim (1984:23), sebagai bahasa nasional bahasa Indonesia
berfungsi sebagai: (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas
nasional, (3) alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan
latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan
kebangsaan Indonesia, dan (4) alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Sedangkan
dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi (1) bahasa resmi kenegaraan, (2)
bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, (3) alat perhubungan ada tingkat
nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional
serta kepentingan pemerintahan, dan (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu
pengetahuan, dan teknologi (Halim, 1984: 24).
Selanjutnya berkaitan dengan
kedudukan dan fungsi bahasa daerah dan bahasa asing, Wiyanto (1987: 10-11)
mengemukakan bahwa bahasa daerah mempunyai fungsi (1) lambang kebanggaan
daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan dalam keluarga
dan masyarakat daerah. Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah
berfungsi sebagai (1) pendukung
bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di Sekolah Dasar, di daerah tertentu pada
tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata
pelajaran lain, dan (3) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah.
Sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai (1) alat perhubungan antarbangsa, (2)
alat pembantu pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan (3) alat pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern untuk pembangunan nasional.
C.
Ancaman terhadap Bahasa Indonesia
sebagai Bahasa Nasional
Seperti telah dikemukakan di atas,
ancaman terhadap bahasa Indonesia dapat berasal dari gejala disintegrasi
bangsa, warisan kolonialisme tentang sikap, dan derasnya arus globlalisasi
(imperalisme bahasa dan budaya).
Dalam tulisannya di majalah Verba
Vol. 1 Nomor 2 Februari 2000, Badib mengajak kita berpikir tentang masih
relevankah peranan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa
Indonesia? Pertanyaan tersebut
dimunculkan mengingat gejala disintegrasi bangsa benar-benar mengancam negara kita.
Keberhasilan Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia secara otomatis
berdampak langsung terhadap bahasa Indonesia. Demikian juga halnya jika Aceh,
Irian Jaya, Riau, Maluku, Sulawesi Selatan berhasil memisahkan diri – tentu
kita semua berharap hal ini tidak – dari Indonesia, hal tersebut akan berdampak
sangat luar biasa terhadap keberlangsungan hidup bahasa Indonesia di daerah
tersebut. Nasionisme tentu akan berlangsung pula di negara-negara baru itu.
Menurut Badib, setelah kemerdekaan
bahasa Indonesia mengalami transformasi.
Bahasa Indonesia bukan saja berfungsi sebagai alat pemersatu tetapi juga
berfungsi sebagai alat sosial, ekonomi, dan politik. Bahasa tidak dapat dipandang sebagai satu-satunya
penentu kesatuan dan persatuan bangsa. Masih banyak faktor lain, misalnya
agama, ideologi, geografis, kebudayaan, etnis, dan ekonomi.
Ancaman kedua yang juga sangat
membahayakan bahasa Indonesia adalah sikap negatif terhadap bahasa Indonesia. Chaer
dan Leonie Agustina (1995:198) menyatakan: “sikap merupakan fenomena kejiwaan
yang biasanya termanifestasikan dalam bentuk tindakan atau perilaku.” Lebih lanjut Garvin dan Mathiot (dalam
Suwito, 1983: 91) menjelaskan bahwa sikap bahasa mengandung tiga ciri pokok,
yaitu kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride),
dan kesadaran akan adanya norma bahasa (awareness of the norm).
Sikap negatif terhadap bahasa Indonesia
tersebut dapat disebabkan oleh warisan kolonialisme yang berhasil menanamkan
bahwa segala sesuatu yang berasal dari luar/asing itu yang paling baik. Hal itu
terwujud dalam sikap penutur bahasa Indonesia yang lebih membanggakan bahasa
asing daripada bahasa nasionalnya.
Warisan lain adalah keberhasilan melakukan politik devide et impera sehingga menimbulkan pandangan bahasa Indonesia
adalah penjajah bahasa daerah. Pandangan lain yang juga mencemaskan adalah
adanya anggapan telah dilakukannya Jawanisasi bahasa Indonesia (simak tulisan
Pabottinggi dan Benedict R. O’G. Anderson dalam Bahasa dan Kekuasaan) dan pandangan yang negatif terhadap
keberadaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang dianggap sebagai
“Polkam”-nya bahasa (lihat tulisan-tulisan Ariel Heryanto dalam Bahasa dan Kekuasaan). Sikap negatif terhadap bahasa Indonesia
tersebut terjadi karena selama pemerintahan Orde Baru, bahasa Indonesia
bersama-sama dengan lembaga pembinanya telah dijadikan sebagai alat politik
penguasa.
Ancaman ketiga yaitu bahasa Indonesia yang
terkepung oleh arus globlalisasi (imperalisme bahasa dan budaya). Kekhawatiran
terhadap ancaman yang ketiga ini dapat kita simak dari tulisan Harimurti
Kridalaksana (1982) “Haruskah Kita Mengorbankan Bahasa Nasional Kita untuk
Melayani Turis Asing dan Perusahaan Asing?”;
Chaedar Alwasilah (1997) “Imperalisme Budaya dan Budaya”; Djoko Soeloeh Marhaen (1985) “Konflik-konflik
Kebahasaan dalam Konteks Multilingual”;
dan Taufik Abdullah (1996) “Situasi Kebahasaan Masa Kini: Kepungan
Eksternal dalam Perkembangan Bahasa dan Wacana di Indonesia.”
Menurut Alwasilah (1997:6), bahasa Indonesia yang merupakan jati diri bangsa mengalami
ancaman, terutama akibat makin tidak terkendalinya pemakaian kata dan istilah
bahasa asing. Menyitir hasil penelitian Gunarwan, Alwasilah menyatakan bahwa
bahasa Inggris berpotensi menjadi “kendala” penanaman sikap positf dan rasa
cinta kepada bahasa Indonesia. Bahasa Inggris cenderung dinilai lebih tinggi
(bergengsi) daripada bahasa Indonesia. Kecenderungan ini patut kita waspadi
sebagai “tanda zaman” dan cairnya semangat Sumpah Pemuda 1928.
Secara rinci Pabottinggi (1996:216)
menyatakan bahwa akhir-akhir ini bahasa nasional kita tumbuh secara
memprihatinkan. Terdapat tujuh butir yang dapat dikemukakan sehubungan dengan
perkembangan bahasa Indonesia.
1.
Penggunaan
bahasa Inggris secara berlebihan atau secara salah kaprah. Ini berlaku pada
nama-nama toko dan bioskup, gedung-gedung tinggi, kompleks-kompleks perumahan
mewah, pusat-pusat hiburan, hingga nama usaha-usaha di perkampungan yang tidak
ada orang asingnya sekalipun, atau ceplas-ceplos dengan kata-kata Inggris di sela-sela
pembicaraan para pejabat. Misalnya: Golden
Truly, The Big Family Moslem, Allah Is Our Aim (Pabottinggi, 1996); full
stereo, full video, full AC, full air mata, full asap, University of Airlangga
(Marhaen, 1985).
2.
Pelanggaran kaidah-kaidah
bahasa Indonesia di media massa
maupun di tempat umum. Yang paling lazim ialah ketidakmampuan membedakan cara
menulis awalan di dengan kata depan di atau bergandanya kata “walaupun” dan
“namun” dalam satu kalimat.
3.
Masuknya struktur kalimat
bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang sifatnya tidak pas dan merusak
bahasa Indonesia.
Misalnya: “Segar Rasa Buahnya, Enak Dikunyahnya”; “Nanti tak undang, ya?”;
“Semuanya tak bereskan minggu depan.”
4.
Gejala kemalasan berpikir yang
mulai parah tampak dalam kebiasaan membuat predikat kalimat menurut subjeknya.
Misalnya: “Pengumunan itu akan diumumkan ....”;
“Pelaksanaan proyek itu akan dilaksanakan ....”
5.
Meluasnya kecenderungan akronim
secara sewenang-wenang dan membingungkan khalayak, bahkan menyalahi prinsip
akronim yang didasarkan pada pemakaian suku-suku kata yang nyata ada dalam
kata-kata yang hendak diakronimkan. Misalnya: “Kloter”.
6.
Pelecehan terhadap bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris. Misalnya “even” untuk “event”; “brenghsex”.
7.
Pelecehan bahasa Indonesia oleh
ideologi pendidikan kita yang cenderung menomorduakan ilmu-ilmu noneksakta.
Selain apa yang dikemukakan oleh Pabottinggi
di atas, hal lain yang dapat ditambahkan berkaitan dengan pertumbuhan bahasa
Indonesia yang memprihatinkan adalah:
8. Pemerkosaan terhadap aspek semantis
kosakata. Hal ini dapat dilihat pada munculnya penggunaan kosakata seperti:
“anak bangsa”, “atas nama rakyat”, “sebatas wacana”, “sebagian besar
masyarakat” yang tidak jelas rujukannya.
9. Distorsi perkembangan bahasa dengan
penggunaan kosakata yang cenderung menonjolkan perilaku sadis dan brutal dalam
surat kabar. Misalnya kata diperkosa,
dikepruk, dibantai, dihabisi, dibacok, dibakar dan lain-lain.
D.
Upaya Menjaga Martabat Bahasa
Indonesia
Menjaga martabat bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional merupakan suatu usaha yang sangat berat. Hal ini
disebabkan oleh beratnya beban yang harus ditanggung oleh bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional. Badib (2000: 141) mengusulkan agar disusun konsep
reorientasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi bahasa Indonesia. Usaha
tersebut tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor pendukung kesatuan dan
persatuan bangsa yang meliputi agama, ideologi, kebudayaan, etnis, ekonomi, dan
politik.
Sejalan dengan pendapat Badib,
Pabottinggi mengajukan konsep otosentrisitas. Menurut Pabottinggi (1996:219),
agar bahasa Indonesia mempunyai otoritas, yang perlu dilakukan bukan suatu
politik bahasa, melainkan pelaksanaan kebijakan otosentrisitas, yaitu kesadaran
bahwa apa pun yang kita lakukan dalam keseluruhan dinamika ekonomi, politik,
dan kultural kita, yang diutamakan
adalah pembangunan “jiwa dan raga” bangsa kita. Dengan prinsip ini, bangsa kita tidak menjadi
kuli di negerinya sendiri, agar merekalah yang sungguh-sungguh menjadi pemilik
dari tanah dan airnya, dan agar bahasanyalah yang menduduki tempat paling
terhormat dalam seluruh kegiatan komunikasi nasional maupun lokal di negerinya.
Alwasilah (1997:6) menyatakan bahwa
untuk menanamkan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia adalah dengan resep
strategi kesejahteraan secara ekonomi dan politik. Jika rakyat hidupnya
sejahtera, nalarnya tinggi, dan menikmati kebebasan berekspresi dan berkreasi
dengan bahasa Indonesia sebagai wujud seni, kecendikiaan, atau kritik sosial,
maka kebangsaan dan kebahasaan Indonesia dengan sendirinya akan semakin
membanggakan.
Penulis setuju dengan pendapat di atas.
Selama bangsa kita menjadi bangsa peminta-minta, tidak mempunyai kekuatan
ekonomi yang mapan akan sulit
menumbuhkan rasa bangga kepada bahasa Indonesia. Kalau bangsa kita mempunyai
tingkat pendidikan yang “tinggi” sehingga menguasai bidang IPTEK dan seni yang berdampak pada kemapanan dalam bidang
ekonomi, politik, dan budaya, hal
tersebut secara langsung akan dapat mengangkat derajat dan martabat bangsa dan
bahasa Indonesia.

Perubahan bahasa Melayu menjadi bahasa
Nasional merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa kita karena tidak banyak bangsa
yang mampu melakukan pemilihan bahasa nasionalnya seperti bangsa kita. Bahasa
nasional kita tersebut patut dibanggakan karena mampu menyatukan tekad,
semangat, dan cita-cita seluruh etnis dalam rangka membentuk nasionalitas dan
nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara mempunyai
fungsi tersendiri. Demikian pula dengan bahasa daerah dan bahasa asing.
Namun demikian, bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional perlu dijaga dari berbagai ancaman. Ancaman tersebut
dapat berupa gejala disintegrasi bangsa,
perwujudan sikap negatif sebagai warisan kolonialisme, dan kepungan arus globlalisasi. Upaya yang perlu dilakukan untuk menjaga
martabat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah dengan melakukan
reorientasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi bahasa Indonesia. Usaha ini
bisa ditempuh dengan kebijakan pembangunan yang bersifat otosentrisitas, yaitu
keberpihakan dan pengutamaan bangsa sendiri. Keberhasilan pembangunan dalam
bidang politik, ekonomi, dan budaya akan
menyejahterakan rakyat Indonesia. Hal ini dengan sendirinya akan membuat
kebangsaan dan kebahasaan Indonesia semakin membanggakan.

Perintah: Diskusikan dengan teman Saudara latihan berikut kemudian
presentasikanlah di depan kelas!
1. Benarkah bahasa Indonesia berasal dari
bahasa Melayu yang telah lama berfungsi sebagai lingua franca? Berikan
argumentasi dan bukti!
2. Jelaskan fungsi bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional! Menurut Saudara apakah fungsi tersebut sudah berjalan dengan
baik? Jelaskan!
3. Jelaskan fungsi bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara! Jelaskan!
4. Bagaimanakah tanggapan Saudara terhadap
pemakaian bahasa Indonesia di kalangan kelompok tertentu yang cenderung
mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris?
5. Apakah saran Saudara agar bahasa Indonesia
dapat semakin kokoh dalam kedudukannya sebagai bahasa negara dan bahasa
nasional? Berikan argumentasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar